Bali, Buruh, Bangkrut!

Ada yang menggelitik dari lontaran beberapa sahabat. Ketika ditanya, jika mereka punya borongan, proyek, atau sekedar pekerjaan insidentil yang harus menggunakan buruh, tenaga buruh mana yang akan mereka pilih, buruh lokal Bali atau dari luar?

Jawaban mereka seragam. Bahwa mereka akan menggunakan buruh luar, terutama dari Jawa. Alasannya, buruh dari Jawa upahnya lebih murah tetapi sanggup mengerjakan apa saja, dan, yang terpenting, kerjanya cepat. Beda dengan buruh lokal (Bali), sudah kerjanya lamban, banyak libur karena alasan upara, ongkosnya juga lebih mahal. Di amping itu, buruh Bali sangat memilih pekerjaan. “Mana mau mereka mengerjakan galian got di jalan? Mana mau mereka disuruh memanjat tiang listrik? Mana mau mereka disuruh memanjat menara?” demikian beberapa orang pemborong.

Bahkan saat ini jika dicermati, tenaga buruh untuk memanen padi pun sudah banyak yang diimpor dari Jawa. Mereka datang dengan lahir dan batin yang sangat siap untuk bekerja. Mereka rela berminggu-minggu mondok di bawah tenda-tenda darurat dari kain bekas di seantero areal sawah yang sedang dipanen. Sementara itu, para pengangguran lokal dengan santai sambil bersiul-siul lewat tak peduli.

Inilah salah satu persoalan yang dihadapi Bali di seputar dunia perburuhan. Hampir seluruh pekerjaan kasar dalam skala besar diserahkan begitu saja kepada buruh dari luar. Sementara itu para tenaga muda lokal yang merasa dirinya sebagai tuan rumah, merasa lebih nyaman dengan status mengganggurnya sembari berharap semoga ada investor yang membuat hotel berbintang, vila, lapangan golf, atau art shop di kampungnya.

Ketika situasi sudah sangat mendesak harus bekerja, tenaga muda dan produktif lokal Bali buru-buru merayu orang tuanya, buru-buru rapat keluarga untuk berembug menjual tanah warisan. Bukan untuk apa-apa, tetapi mereka butuh biaya banyak untuk melamar pekerjaan menjadi PNS, atau menjadi polisi, atau buat sekolah diploma bidang kepariwisataan. Banyak sekali anak-anak muda Bali yang bersekolah di bidang kepariwisataan memaksa orang tuanya untuk menjual sawah atau kebun, karena mereka perlu biaya tinggi untuk training di luar negeri. Maka demikianlah, berbekal uang hasil menjual tanah warisan, anak-anak muda Bali dengan gagah dan perlente berangkat ke Singapur untuk training menjadi buruh hotel atau buruh kapal pesiar.

Setelah usai training di luar negeri, mereka pun kembali harus nganggur menunggu lowongan. Bagi mereka yang bernasib lebih baik, panggilan kerja dari sebuah kapal pesiar di Amerika, Hongkong atau Eropa datang lebih cepat. Tetapi karena uang hasil menjual warisan sudah keburu habis untuk training di luar negeri dan bekal selama menunggu panggilan, maka untuk berangkat memenuhi panggilan kerja di kapal pesiar di Amerika, orang tua mereka kembali harus meminjam uang di bank dengan jaminan sertifikat tanah warisan yang tersisa sepetak kecil.

Fenomena ini menunjukkan, betapa kondisi perburuhan di Bali sejatinya sangat konyol, kekanak-kanakan dan tak masuk akal. Pekerjaan nyata di halaman rumah sendiri tak sudi mereka lakukan karena dianggap kasar dan kotor, tetapi pekerjaan yang seolah-olah elit di negeri nun jauh di sana mereka kejar dengan ongkos yang tak masuk akal pula. Para buruh kasar dari luar Bali dengan rela dan iklas berjibaku dengan lumpur got, berjibaku dengan trik matahari dan guyuran hujan angin, lalu pulang ke kampung halamannya dengan perasaan legowo berikut uang nyata. Bahkan tidak mustahil di kampung halamannya mereka bisa membeli sepetak tanah atau membangun warung kecil untuk istrinya dari ongkos berburuh di Bali.

Sementara itu, para buruh Bali yang berangkat ke luar negeri mendapat kenyatan bahwa sebesar-besar gaji yang mereka terima yang berbentuk dolar atau euro, tak kunjung cukup dikumpulkan untuk melunasi hutang dan menebus tanah warisan yang telah terjual.

Jika mau jujur, pergeseran dan pengalih-fungsian lahan di Bali juga ada kaitannya dengan dunia perburuhan. Penduduk lokal yang lebih memilih “pekerjaan bersih” di hotel-hotel berbintang di luar negeri, di kapal pesiar dan sejenisnya, dengan gembira mengalih-fungsikan sawah atau kebunnya kepada para investor luar untuk dijadikan hotel, vila atau pusat perbelanjaan baru. Maka bukanlah sesuatu yang mengada-ada, bila beberapa tahun ke depan Bali akan semakin bangkrut gara-gara persoalan buruh ini!

Februari 2010
Nanoq da Kansas

4 komentar:

Posting Komentar