Logika, Etika dan Estetika

Dalam sebuah kesempatan temu wicara sejumlah seniman dan budayawan dengan Presiden SBY minggu lalu di Istana Kepresidenan Tampaksiring, Presiden dengan sangat jernih dan masuk akal memaparkan bahwa sejatinya bangsa ini hanya memerlukan tiga hal saja untuk bisa mencapai tatanan kehidupan yang ideal secara bersama-sama, yang dalam bahasa ringkas bisa didefinisikan sebagai kehidupan yang harmoni.

Tiga hal itu adalah, bahwa di dalam berperilaku, setiap warga negara semestinyalah selalu berpijak pada logika, etika serta estetika. Hanya itu. Hanya itulah yang sejatinya menjadi intisari dari moral bangsa Indonesia untuk menemukan identitas serta karakter bangsa yang senantiasa menjadi cita-cita bersama sejak negeri ini diwujudkan oleh para founding father, kemudian dilanjutkan oleh para pemimpin bangsa mulai dari Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati hingga sekarang.

Tetapi sayangnya, dalam banyak situasi kita sering lupa atau bahkan sengaja mengabaikan ketiga nilai tersebut. Ini terjadi karena sengaja atau tidak, kita ini seringkali mengkotak-kotakkan diri ke dalam dikotomi-dikotomi yang bermuara pada berbagai kepentingan pragmatis. Dalam suatu saat, kita lebih menonjolkan logika, maka yang terjadi kemudian hanyalah sebuah ukuran yang berhenti pada “salah” atau “benar”. Lalu di kesempatan lain, kita hanya menonjolkan serta menuntut etika. Maka yang lahir kemudian hanyalah sebuah ukuran yang berhenti pada kata “patut” atau “tidak patut”, “pantas” atau “tidak pantas”.

Sementara itu, satu hal lagi yakni estetika, justru hanya berhenti pada pemahaman yang sempit dan dangkal, bahkan dianggap tidak penting. Estetika, hanya dimaknai sebagai unsur bawaan suatu karya seni atau kesenian.

Inilah yang harus dikoreksi bersama-sama. Estetika, adalah juga bagian yang tidak dapat dipisahkan dari satu kesatuan yang utuh bagi pikiran, perkataan serta perilaku setiap anak manusia, setiap anak bangsa yang sudah pasti mencintai dan menghormati negerinya sendiri. Logika, etika dan estetika, adalah ruh dari satu kesatuan tunggal kehidupan yang harmoni.

Dengan adanya harmoni di dalam kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa, pada saat itulah sebuah bangsa baru dapat dikatakan mengada. Bahkan demokrasi itu sendiri tiada lain adalah anak kandung dari sebuah kehidupan yang harmoni. Demokrasi tanpa logika, adalah sesuatu yang absurd. Demokrasi tanpa etika, adalah sesuatu yang tidak wajar. Dan, demokrasi tanpa estetika, entah apa namanya kecuali sesuatu yang tak berjiwa.

Estetika adalah nilai yang melampaui logika dan etika, sekaligus menyempurnakan keduanya.

Berangkat dari titik inilah kemudian, negara harus senantiasa menciptakan ruang dan kesempatan agar estetika senantiasa berdaya untuk tumbuh dan berkembang secara alamiah di setiap individu anak-anak bangsa, di setiap pemikiran, perkataan dan perilaku anak-anak bangsa, agar sejarah bangsa terjaga dalam harmoni, bukan disharmoni.

Maka demikianlah, pendidikan karakter yang saat ini menjadi wacana hangat di kalangan pemegang kebijakan negeri, sudah seyogyanyalah tidak berhenti pada pengertian “benar-salah”, “pantas-tidak pantas”. Tetapi lebih dari itu, mengacu pada ungkapan Mendiknas, Mohammad Nuh, bahwa bangsa ini harus bersama-sama membangun karakter-budaya yang menumbuhkan kepenasaran intelektual sebagai modal untuk mengembangkan kreativitas dan daya inovatif yang dijiwai dengan nilai kejujuran dan dibingkai dengan kesopanan dan kesantunan. Di situlah kehidupan yang harmoni itu berada!

nanoq da kansas

1 komentar:

Kemala Astika mengatakan...

Ya betul. Maka lalu pertanyaannya selanjutnya adalah bukan, bisa tidak, namun, mau tidak. Mau tidak kita mulai berbenah bukan atas nama kepentingan. Mau tidak kita selamatkan Indonesia?

Posting Komentar