Merdeka Sambil Melarat

“Saya tidak memasang bendera di rumah. Males, soalnya kian hari negeri ini kian amburadul,” ujar seorang warga di sebuah warung kopi.

Ucapan warga ini tentu saja mendapat reaksi beragam dari beberapa orang yang juga ada di warung itu. Ada yang cuma tertawa, ada yang mendebat tidak terima. “Persoalan amburadul atau tidak, itu tidak ada hubungan dengan ulang tahun kemerdekaan. Kita harus menghormati hari suci ini. Sama dengan hari raya dalam agama, Hari Ulang Tahun Kemerdekaan adalah juga hari suci bagi bangsa kita,” sengit orang itu.

Dengan mudah dapat ditebak kemudian sebuah perdebatan seru berlangsung di warung kopi di pojok perempatan dekat bale banjar itu. Warga yang enggan memasang bendera tersebut membantah keras jika dirinya dikatakan tidak menghormati negara hanya gara-gara tidak memasang bendera di bulan Agustus. Dia mengatakan bahwa dengan tidak memasang bendera, tak sedikit pun rasa hormat dan taatnya kepada negara berkurang. “Rasa hormat dan ketaatan bernegara tidak bisa hanya diukur dari memasang bendera merah putih atau tidak memasangnya di bulan Agustus. Bagaimana kalau saya memasang bendera tetapi hati saya justru tidak tenteram dan tidak iklas?” tanyanya lagi.

Perdebatan masih berlangsung lama di warung kopi itu.

Dan ini bukanlah cerita fiksi. Bahwa persoalan kemerdekaan beserta kelanjutannya berupa kesuksesan pembangunan bagi negeri yang besar ini, ternyata belumlah berhenti untuk menjadi perdebatan. Selalu ada yang merasa tidak enak hati dengan istilah merdeka itu. Merdeka kok banyak yang tidak mampu beli beras? Merdeka kok sekolahkan anak saja mahal sekali? Merdeka kok cari pekerjaan saja sulit setengah mati? Merdeka kok biaya berobat tak terjangkau rakyat kecil? Merdeka kok ada perbedaan mencolok antara kaya raya dan miskin sampai mati? Merdeka kok ada intimidasi? Merdeka kok bangkrut? Merdeka kok anu...? Dan seterusnya.

Siapa pun boleh menilai dan mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut kurang bermutu, naif, tidak cerdas, bahkan konyol. Tetapi siapa pun juga tetap punya hak untuk melontarkan pertanyaan tersebut.

Sambil Melarat
Sejak Republik ini merdeka, seluruh rakyat Indonesia memiliki satu tujuan yakni meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Demikian pula dengan pemerintah, bahwa setiap pemerintahan yang berkuasa di negeri ini memiliki tujuan yang sama, yakni meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, berarti sejak dulu hingga sekarang rakyat dan pemerintah Indonesia telah memiliki tujuan yang sama, yakni peningkatan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pertanyaanya, kenapa sampai saat ini kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia itu tidak juga terwujud padahal hal itu merupakan tujuan bersama antara rakyat dan pemerintah?

Walau kedengaran sangat naif, pertanyaan ini sangat mendasar. Sebab, realitas yang ada dengan gamblang menunjukkan kepada kita semua, bahwa yang bernama kesejahteraan bersama itu hingga detik ini masih hanya sebatas fatamorgana. Yang jelas-jelas ada hanyalah “kesejahteraan tidak bersama”. Pemerintah boleh saja setiap semester mengaku telah berhasil mengurangi kemiskinan sekian persen atau sekian digit dari sebelumnya, tetapi ketimpangan ekonomi toh tak beranjak dari kehidupan bersama sehari-hari.

Di ulang tahun kemerdekaan yang ke-66 ini misalnya, seharusnya kita rayakan dengan rasa bahagia. Tetapi ternyata tidak ada yang bahagia. Karena berbagai masalah menumpuk di dalam negeri. Katakanlah yang paling mendasar adalah soal sembako. Ulang tahun proklamasi kemerdekaan tahun ini ternyata disambut oleh melonjaknya harga beras untuk rakyat, yakni dari Rp. 7000 menjadi Rp. 8000 hingga Rp. 8.500. Lalu minyak goreng, bumbu, serta daging pun harganya ikut menyiksa rakyat. Beras mahal, tetapi tidak memberi keuntungan apa-apa bagi para petani sawah. Harga daging sapi mahal, tapi para peternak sapi rugi besar karena harga sapi anjlok ke titik nadir. Tidak ada yang bahagia memang!

Runyamnya lagi, untuk menolong rakyat mengimbangi kenaikan harga ini, pemerintah tak punya inovasi. Taruhlah misalnya ketika beras dan sembako lainnya mahal, pemerintah bisa mengimbanginya dengan memberikan pelayanan publik yang murah dan baik bagi masyarakat. Misalnya pemerintah bisa menurunkan biaya transportasi untuk rakyat. Dengan demikian rakyat tidak perlu harus membawa sepeda motor, rakyat tidak perlu nyicil kendaraan karena pemerintah sudah menyediakan transpotasi yang murah dan baik.

Di tengah keruwetan hidup seperti sekarang ini, pemerintah malah kian sibuk beropini, membela-bela diri dan terhanyut dalam kegenitan politik. “Pemerintah bisanya hanya membuat program yang aneh-aneh, tapi semua tak menyentuh hajat hidup masyarakat kebanyakan,” celetuk seorang pedagang nasi rames di pinggir jalan.

Apa yang dikatakan pedagang nasi rames itu mungkin terlalu sederhana. Seperti juga perdebatan beberapa warga di warung kopi tadi, ternyata berujung pada sesuatu yang sangat sederhana. “Sudahlah, sampean nggak perlu maksa saya memasang bendera. Bukan karena apa-apa kok, tapi karena bendera yang saya punya ternyata sudah robek dimakan usia. Dan saya tidak mampu membeli bendera baru lagi. Saya merdeka. Sungguh saya menghargai dan menghormati kemerdekaan negeri ini, tapi sambil miskin. Saya merdeka sambil melarat! Apa saya salah lagi?” demikian warga yang enggan memasang bendera itu di ujung berdebatan lantas ngloyor pergi.

nanoq da kansas