Diplomasi Kebudayaan

Diplomasi kebudayaan, sebuah ungkapan sederhana tetapi dunia mengakuinya memiliki pengaruh yang signifikan bagi kelangsungan hubungan dan kehidupan bangsa-bangsa. Sayangnya, pengejawantahan kalimat pendek itu hari ini tak pernah tuntas dipahami oleh bangsa Indonesia. Jangankan dilaksanakan, diingat saja jarang. Bangsa yang dulu dikenal berbudaya luhur ini, hari ini terlanjur terpesona dan berserah kepada “Diplomasi Politik” dan “Diplomasi Ekonomi”.

Maka keterpurukan akut dan berkepanjangan yang diderita bangsa ini pun tak sembuh-sembuh juga. Kita sudah lama sekali terpuruk secara moral, terpuruk secara ekonomi, dan yang paling parah terpuruk dalam hal harga diri. Karena diplomasi politik maupun diplomasi ekonomi yang begitu gencar dilakukan elit-elit bangsa ini tak pernah dipercaya oleh bangsa lain. Bukan karena apa, tetapi diplomasi politik dan ekonomi yang dianut bangsa ini tidak lebih dari dagelan-dagelan yang di dalamnya penuh basa-basi dan kemunafikan. Maka begitu mudahnya kita diintervensi bangsa lain. Malaysia tiba-tiba mengklaim pulau kita, mengusir dan menghukum para tenaga kerja kita seperti memperlakukan hama pohon di kebun. IMF dengan jumawa mendikte keuangan negara kita. Australia sambil tersenyum-senyum mengejek membuka pintu lebar-lebar bagi anak-anak bangsa kita yang ngambek untuk tinggal di sana. Amerika apalagi. Masak hanya membeli onderdil pesawat dan peralatan untuk tentara saja kita tidak diijinkan. Singapura yang begitu kecil dan nyempil, dengan begitu seringnya menyindir-nyindir kita sebagai bangsa yang melempem dan ketinggalan jaman. Para teroris begitu mudahnya mempermainkan pihak keamanan dengan permainan petak umpet. Begitu terpuruknya bangsa ini.

Karena apa? Karena dalam keterpurukan itu sendiri yang kita garap masih soal politik melulu. Yang kita selamatkan hanya seputar soal ekonomi melulu. Padahal politik bangsa Indonesia yang terlanjur cidera dari jaman Orde Lama dan Orde Baru itu hanyalah milik segelintir orang atau kelompok yang muaranya selalu hanya berakhir di kepentingan kekuasaan. Ekonomi juga hanya milik segelintir investor dan para bankir yang tak pernah punya jiwa nasionalisme sejati tetapi berlagak menjadi penentu nasib bangsa ini. Padahal ekonomi yang pengelolaannya dipercayakan kepada investor-investor itu sampai hari ini belum terbukti mampu memberikan keadilan bagi anak-anak bangsa ini. Ekonomi hanya menyenangkan para pelakunya tetapi dengan menjual penderitaan anak-anak bangsa pula.

Dengan kenyataan itulah maka bangsa ini (kita) sudah lama sekali kehilangan kepercayaan dari orang dan negara lain. Proposal politik dan ekonomi yang bagaimana pun kita jual ke luar negeri, hasilnya tetaplah sebatas basa-basi mereka untuk suatu saat nanti mau berbaik-baik dengan kita. Ya, sekali lagi, tanggapan bangsa luar kepada diplomasi politik dan ekonomi kita selalu hanya sampai pada basa-basi, karena akhirnya mereka toh tetap mencibir kita karena melihat berita televisi dan koran-koran selalu dipenuhi persoalan politik dan ekonomi dalam negeri kita dengan berbagai demonstrasi, anarki dan bahkan caci-maki!

Agama yang menjadi way of life bangsa ini pun lebih sering tak berdaya. Agama kita lebih sering menyerah terhadap politik dan ekonomi. Kita lihat, agama yang merupakan wahyu Tuhan, malah sering dicomot sana-sini, dicampur-baurkan dengan kepentingan politik dan ekonomi. Atau bahkan tidak jarang pula, agama kita justru harus bermanis-manis mendekati politik agar mendapat dukungan di dalam pelaksanaan sehari-harinya. Maka urusan moral yang sejatinya merupakan urusan agama, justru diklaim ke dalam undang-undang serta peraturan-peraturan buatan manusia yang tak utuh.

Tahun 2007 lalu, diplomasi kebudayaan telah disinggung oleh Presiden SBY. Presiden mengatakan dan menekankan agar kita semua menghidupkan serta memupuk budaya yang dulu terbukti mampu membuat bangsa ini besar. Budaya unggul yang dulu milik bangsa ini, mesti dikembalikan ke dalam kehidupan sehari-hari kita. Kebudayaan unggul bangsa ini dulu adalah perilaku moral serta prilaku intelektual yang diamalkan sehari-hari oleh seluruh anak bangsa jauh sebelum politik dan ekonomi modern menjajah kita.

Bahwa untuk bisa belajar dari orang atau bangsa lain, kita harus pahami dulu kebudayaannya. Karena kebudayaan adalah pintu masuk kehidupan universal. Dalam kebudayaan tidak ada kepentingan untuk saling menguasai, saling mengintervensi. Dalam kebudayaan kita menemukan fakta paling mendasar kehidupan, yaitu; hati nurani. Di tempat lain tidak! Dan hanya melalui hati nurani yang bersihlah kita baru bisa mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Dan kalau kita sudah mendapat kepercayaan dari orang lain, barulah eksistensi kita diakui.
nanoq da kansas

3 komentar:

Dadap mengatakan...

Bagi saya, pikiran SBY hanya romantisme belaka...!
Sudahlah... kita mestinya berpikir progresif, berpikir sebuah keniscayaan... Budaya itu dinamis... Baik dulu belum tentu cocok diterapkan sekarang... Jika mungkin bisa belum tentu mudah diterapkan sekarang... Sudah banyak perubahan disana-sini otak kita!

....
banyak pemikiran yang harus saya tulis disini sebelumnya, namun langsung saja ingin saya sampaikan sebuah ide besar saya:

Bahwa kebudayaan yang ada di dunia (manusia) akan menjadi satu kebudayaan saja: budaya manusia. Butuh beratus bahkan beribu tahun lagi... Percayalah itu niscaya!

wendra wijaya mengatakan...

Kebudayaan (lama) memang harus kembali dihidupkan, boz. Tapi pertanyaannya, apakah itu masih bisa diterjemahkan lagi? Untuk masalah ini, kita tidak bisa hanya mengandalkan kata "yakin" saja.

Kita harus jujur, sepakat atau tidak pergeseran karakteristik masyarakat karena berbagai hal (entah itu ekonomi ataupun politik)telah menciptakan "budaya baru" bagi masyarakat itu sendiri.

Hanya saja, apakah "budaya baru" ini akan mampu mengembalikan daya tawar bangsa kita di mata dunia? Semuanya butuh proses...

situs poker mengatakan...

Mantap gan artikel nya :)

Agen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola

Posting Komentar