FRAGMEN SEBUAH HALTE

KETIKA itu senja baru turun dan berlaku seperti biasa. Dan halte itu masih seperti kemarin; kesepian di luar kota, cat pada tiang-tiangnya menua dan kusam, dan di bawah bentangan besi panjang tempat duduknya, berbagai jenis sampah bekas terinjak bersatu membentuk koloni bisu-tuli.

Telah dua jam mereka di sana. Bertemu tak sengaja, datang dari arah yang berbeda, lalu masing-masing menempati bagian paling ujung halte itu. Dan setelah dua jam itulah, kebisuan itu pecah.
+ Kamu siapa?
- (Menoleh sejenak, lalu menyebut nama).
+ Rumah kamu?
- Jauh.
+ Sekarang kamu mau ke mana?
- Kamu?
Keduanya saling menertawakan sesuatu. Sebut sajalah: entah.
- Kamu siapa?
+ Saya tidak akan sejujur kamu.
- Ndak apa-apa.
+ Kenapa?
- Saya maklum, kamu laki-laki.
+ Kenapa?
- Biasanya begitu.
+ Berapa umur kamu?
- Ng...
+ O, kamu sedang akan tidak jujur juga?
- (Diam)
+ Kok diam?
- Ndak tahu.
+ Lho?! Umur sendiri ndak tahu?
- Ya, ndak tahu. Orang tua ndak mencatat.
+ Kira-kira sajalah.
- Kamu mendesak saya.
+ Sedikit.
- Ng..., enam belas, eh, tujuh. Tujuh belas.
+ Betul?
- Ndak tahu, ah.
+ (Diam beberapa saat, memandang ke kejauhan lalu bersiul-siul tak jelas).
- (Tak acuh, memainkan helai demi helai rambutnya sendiri).
+ Kamu masih sekolah?
¬- Ndak sekolah. Hanya tamat es-de.
+ Kok ndak sekolah lagi?
- Ndak ada biaya.
+ Ah, masa?
- Ya. Enakan jualan kopi. Langsung dapat uang.
+ O, jadi kamu ini dagang kopi?
- Ndak.
+ Lalu?
- Kayaknya daripada sekolah, enakan jualan kopi.
+ Ha ha ha! Ya, enakan jualan kopi. Langsung dapat uang.
Sebuah bus berhenti dengan rem berdecit. Itu bus yang kesekian. Dan kernet yang kesekian turun. Mulutnya tersenyum. Merayu. Menarik-narik tangan. Tapi keduanya bergeming.

Bus berangkat dengan supir dan kernet yang kecewa. Mereka menggerutu. Tentang banyak hal: be-be-em, beras, minyak goreng, garam, lombok, ikan asin, es-pe-pe, listrik, air, baju anak-anak, odol, sikat gigi, sandal jepit, flu, pilek, demam, sakit kepala....
+ Betul itu nama kamu?
- Ya.
+ Sumpah?
- Sungguh.
+ Rumah kamu?
- Jauh.
+ Pekerjaan kamu?
- Cari uang.
+ Ya ya, saya tahu. Tapi maksud saya...
- Cari uang.
+ Baiklah. Lalu uang kamu itu untuk apa?
- Banyak.
+ Misalnya?
- Kamu bodoh.
+ Busyet!
- Siapa yang busyet?
+ Kita.
- Kamu saja.
+ Kamu juga.
- Enak saja!
+ Memang enak. Soalnya saya cowok, kamu cewek.
- Hh...!
+ Apa yang hh?
- Kamu jorok.
+ Bisa ngasi contoh sesuatu yang ndak jorok?
- Ndak bisa. Soalnya saya ndak sekolah.
+ Kamu pintar ngomong.
- Soalnya saya ndak sekolah.
+ Saya jadi ndak yakin.
- Soalnya kamu laki-laki.
+ Busyet!
- Nah, busyet lagi, kan?
Sebuah mikrolet berhenti. Mikrolet yang kesekian. Muatannya penuh sesak. Orang-orang dijejalkan bagai pindang dalam kaleng. Kernet yang kesekian turun. Mulutnya tersenyum. Merayu. Menarik-narik tangan. Tapi keduanya bergeming.

Dari jauh lampu sebuah mobil patroli berkilat-kilat. Bagai setan, kernet berlari dan menggelantung di pintu mikrolet. Supir menggenjot gas bagai menggenjot sisa-sisa hari terakhirnya. Mikrolet melesat. Penumpangnya tak peduli.
+ Kamu ndak takut?
- Takut apa?
+ Sama saya misalnya?
- Kenapa?
+ Siapa tahu saya ini bajingan.
- Bagaimana kalau saya juga bajingan?
+ Ah, kamu kan cewek?
- Biar cewek, kalau bajingan ya bajingan.
+ Ha ha ha!
- Kok ketawa?
+ Kamu pintar. Dan cantik.
- Terus?
+ Saya senang sama kamu.
- Masa?
+ Ya.
- Sumpah?
+ Sungguh.
- Terima kasih.
+ Sama-sama.
Sebuah truk lewat. Hitam warnanya. Muatannya menggembung tertutup terpal hitam. Asap knalpotnya hitam. Sehitam wajah supir dan kernetnya. Di belakangnya, para sedan mulus melenggang anggun. Di belakangnya lagi, para bus dan para mikrolet bersitegang. Lalu jalan itu kembali lengang.
+ (Batuk-batuk kecil).
Betul itu nama kamu?
- Ya?
+ Punya pacar?
- (Diam. Matanya menyipit)
+ Kok diam?
- Sudah malam. Jangan bertanya soal itu.
+ Kamu punya pacar?
- Mmm..., punya anak saja, bagaimana?
+ Eh, kamu punya anak?
- Ya.
+ Oh, kamu sudah menikah?
- Ndak pernah.
+ Aduh, saya bingung.
- Saya juga.
+ Kamu punya anak?
- Ya.
+ Terus, siapa ayah anak itu? Suami kamu, bukan?
- Ndak ada.
+ Astaga, suami kamu sudah tidak ada?
- Memang tidak ada.
+ Terus, siapa ayah anak itu? Suami kamu, bukan?
- Ndak ada.
+ Maksud saya, yang dulu bikin anak itu ada di perut kamu, siapa?
- Saya.
+ Ya, saya tahu. Tapi kamu kan harus mengerjakannya sama orang lain. Sama cowok. Sama laki-laki.
- Banyak.
+ Astaga!
- Ya. Saya cari uang.
+ Lantas, di mana anak kamu itu sekarang?
- Mati. Saya...
+ Ya Tuhan!
Diam. Keduanya diam. Lamaaaaaaaaaaaa sekali. Dan jalan itu, halte itu juga tetap sepi. Kalau saja di antara mereka ada yang membawa jam, tentu mereka akan kaget bahwa saat itu malam telah melewati angka dua belas. Dan keduanya tiba-tiba menarik nafas panjang.
+ Kamu kenapa?
- Ngantuk. Dan, dingin.
+ Saya juga.
- Saya ingin nangis.
+ Menangislah.
- Ndak apa-apa, kan?
+ Ndak apa-apa.
Di halte itu lalu ada yang menangis. Mula-mula terisak pelan, lalu sesenggukan, lalu terisak lagi, lalu berhenti.
+ Kok berhenti?
- Sekarang saya sudah lega.
+ Kenapa?
- Bahwa saya masih bisa menangis.
+ Kamu pulang saja, ya?
- Ke mana?
+ Ke rumah kamu.
- Maksudmu?
+ Ke rumah orang tua kamu.
- Di mana?
+ Astaga!
- Maksud kamu?
+ Sudahlah. Sekarang kamu mau ikut saya saja?
- Ke mana?
+ Ndak tahu.
Keduanya saling pandang. Takjub pada sesuatu. Sebut saja: entah!


nanoq da kansas
Catatan:
Terinspirasi dari ingatan sebuah cerita pendek entah karya siapa yang pernah saya baca belasan tahun lalu entah di mana