PENGINGKARAN atas kesejatian lokal dalam pembangunan Bali untuk memaksakannya menjadi elit itulah yang justru menciptakan kemiskinan demi kemiskinan dalam aspek sosial dan ekonomi serta budaya masyarakat Bali secara umum. Pencekokan ide-ide absurd yang justru memenjara Bali ke dalam eksotisme yang absurd pula selama ini, jelas-jelas mengerdilkan. “Sejauh ini Bali sudah dijadikan bonsai oleh para elit yang berkolaborasi dengan kapitalis rakus, baik itu elit lokal maupun pusat. Bali, memang tetap indah dan memesona, tetapi tak berdaya apa-apa. Seperti itulah bonsai,” lanjut aktivis Komunitas Kertas Budaya (Jembrana-Bali) ini dengan nada pesimis.
Selama ini, eksotisme yang berhasil dibangun dengan rapi oleh para elit dan kapitalis atas Bali, telah menyedot sumber daya manusia di seluruh pedesaan Bali untuk pergi menyerahkan nasib mereka ke satu-satunya industri yang ada, yakni pariwisata, yang celakanya hanya dipusatkan di kawasan tertentu di Bali. Alangkah bangganya generasi muda pedesaan Bali jika bisa menjadi tukang kebun atau juru pel lantai dan toilet hotel, pelayan restoran bule, penjahit di garmen-garmen milik orang asing atau tukang jinjing papan selancar di kawasan Badung Selatan. Sementara itu di rumah, di desa-desa mereka, sepetak kebun dan sawah dibiarkan terbengkalai atau dijual kepada orang-orang kaya baru dari daerah tertentu yang telah menjual tanahnya untuk infrastruktur industri pariwisata. Yang meninggalkan sawah di desa terkadang masih beruntung karena orang tua mereka terpaksa menyewa orang lain untuk menggarap sawahnya. Terutama yang meninggalkan sepetak kebun di desanya, maka kebun itu pun akhirnya hanya menjadi hamparan semak belukar atau alang-alang liar. Potensi yang ada di desa pun pelan dan pasti menjadi lumpuh.
Dengan alasan modernisasi pertanian, dulu, dari meja kerjanya di bilik-bilik gedung megah para elit mengiming-imingi petani di seantero pedesaan Bali agar menanami kebunnya dengan tanaman komoditi ekspor. Pohon kelapa, mangga, sawo, durian, ceroring, kepundung dan sejenisnya ditebangi, diganti dengan vanili, cengkeh, coklat atau tanaman buah-buahan dari luar negeri. Karena indahnya iming-iming tersebut yang juga tanpa disertai sosialisasi memadai mengenai klasifikasi tanaman komiditi ekspor yang cocok, maka hanya sebagian kecil petani yang bisa merasakan hasilnya. Sementara yang ketiban sial karena tanahnya tidak cocok untuk cengkeh, tidak cocok untuk coklat dan seterusnya, tinggal gigit jari. Maka ketika turis butuh makan buah, dengan segeralah para kapitalis mengekspor jeruk dari China, apel dari New Zaeland, anggur dari Bangkok, beras dari Siam, kedelai dari Amerika, dan seterusnya.
Penduduk Bali yang kehidupan sehari-harinya dipenuhi ritual yang konsepnya senantiasa berselaras dengan alam semesta sehingga selalu memakai sarana ritual dari alam semesta juga, terpaksa membelinya dari luar pulau. Pisang sudah langka di Bali karena pohon pisang lokal ludes oleh hama busuk batang akibat imbas dari pembudidayaan membabi buta jenis pisang hasil silangan para alhi pertanian tempo hari. Buah-buahan untuk sesajen juga mau tak mau harus yang impor yang kini mudah dibeli di pasar umum hingga ke warung-warung pinggir jalan. Padahal harga buah-buahan tersebut jauh di atas dan tidak sebanding dengan hasil penjualan biji coklat, buah vanili, bunga cengkeh yang ternyata sepenuhnya berserah pada kemauan pasar global.
Maka begitulah, eksotisme Bali yang ada kini hanyalah eksotisme yang absurd, instan dan hambar, serta rapuh. Padahal, yang dulu menjadikan Bali bersinar, yang menjadikan Bali sebagai Morning of the World (kata teman yang mengutip Nehru), adalah kehidupan yang ada di desa-desa yang merupakan kesejatian Bali itu sendiri. Bali dengan warganya yang tumbuh berkembang secara alamiah bersama sawah dan subak, bersama kebun-kebun jagung, kesela, palawija dan buah-buahan lokal semacam kepundung, ceroring, katulampo, poh gandarasa, poh golek, poh gedang, duren, manggis, biyu buluh, biyu raja, biyu ketip, biyu gedangsaba. Bukan Bali yang dikembangkan dengan instan mengikuti konsep aneka fast food impor itu.
Karena kalau mau jujur, Bali sampai saat ini toh tetap saja membutuhkan jagung, kesela, kesawi, undis, kepundung, ceroring, katulampo, poh gandarasa, poh golek, poh gedang, duren, manggis, biyu buluh, biyu raja, biyu ketip, biyu gedangsaba dalam kehidupan sehari-harinya. Dan betapa lucunya jika semua itu sekarang harus dibeli Bali dari luar sana.
Pemiskinan Sistematis
Apa yang terungkap di atas tadi adalah sekaligus merupakan proses pemiskinan yang berjalan secara sistematis di Bali. Karena sejatinya pula, sistematika pemiskinan itu sendiri bermuara pada ujung di mana (dalam hal ini) Bali akhirnya sepenuhnya bergantung pada kebaikan hati pihak luar. Kini Bali bergantung pada kebaikan hati petani-petani dari Jawa agar bisa mendapatkan bahan baku lokal untuk makan hingga menunaikan upacara adat dan agama. Bali bergantung pada kebaikan hati para kapitalis di pusat-pusat bisnis dan pariwisata agar generasi mudanya bisa ikut meburuh alias berkuli. Bali bergantung pada kebaikan hati cukong-cukong pasar global agar mau membeli cengkeh, biji coklat dan buah vanili para petaninya yang tak seberapa. Bali bergantung sepenuhnya pada kebaikan hati para tengkulak negara maju agar industri kerajinan masyarakatnya semacam ukir-ukiran cenderamata, patung, hingga sablonan kaos oblong bisa diekspor dengan harga setengah mati murahnya. Yah, daripada jadi sampah lapuk atau dimakan rayap, semuanya diiklaskan saja.
Dalam hal tenaga kerja, ketergantungan Bali kepada pihak luar yang celakanya juga tak lain adalah para kapitalis, juga luar biasa besarnya. Soalnya sihir industri pariwitasa yang demikian glamour, telah membunuh keyakinan masyarakat untuk membekali dirinya dengan pendidikan yang baik dan sesuai. Hampir seluruh orang tua di Bali mendorong anaknya cukup bersekolah sampai SLTA saja. Sesudah itu pergilah ke pusat-pusat pariwisata untuk berkuli. Tak peduli entah hanya (seperti sudah disinggung tadi) jadi tukang kebun atau tukang pel lantai hotel, pelayan restoran, penjaga toko swalayan, penjahit di garmen-garmen, tukang kumpulin botol-botol miras di bar, tukang amplas dan semir patung, terserah. Yang penting dekat dengan turis, habis perkara!
Kenapa para orang tua di Bali memilih jalan tersebut untuk anak-anak mereka? Karena sekolah butuh biaya tinggi. Dan biaya tinggi itu sungguh tidak mampu ditebus dengan hasil pertanian yang telah lama dikesampingkan di Bali, tak mampu ditebus dengan penghasilan dari usaha-usaha kerajinan, tak mampu ditebus dengan penghasilan dari berkuli.
Maka manajemen atas perekonomian di Bali pun dikelola sepenuhnya oleh SDM dari luar yang tentu saja datang dengan nafsu kapitalistik bergelora menyamai badai El Nina dan Katrina di Samudera Pasifik. Pendapatan atau gaji besar lari ke luar, uang receh barulah dibagikan kepada tenaga kerja lokal. “Jika membicarakan semua ini, entah karena kita sekarang baru ngeh atau karena sudah prustasi, tentulah tak habis-habisnya. Bahwa Bali memang miskin adanya. Dari semula miskin, lalu terus dibuat miskin, maka kemiskinan beranak-pinaklah ujungnya. Hanya satu solusinya, kemauan dan tekad para elit bersama-sama seluruh masyarakat di Bali untuk merombak total kebijakan pembangunan yang selama ini berorientasi borjuis, kembali kepada kesejatian dan kedaulatan lokal Bali itu sendiri!” Demikian beberapa gelintir pemikir muda Bali bergumam. Hanya gumam!
nanoq da kansas