UNTUK tidak menggunakan kata “edan” dalam ketakjuban ini, saya akan menggunakan kata “gila” saja. Dan inilah ungkapan rasa ketakjuban saya: “Gila! Anak-anak muda kita sekarang rame-rame bercita-cita jadi guru!”
Ya, para lulusan SMA sekarang berbondong-bondong hendak masuk IKIP atau perguruan tinggi sejenis yang bisa mencetak guru. Dengan tanpa gengsi lagi, dengan tegas dan lugas mereka mengaku ingin menjadi guru. Padahal tahun-tahun kemarin, profesi guru bagi anak-anak muda adalah sebuah kegengsian. Dulu, perguruan tinggi semacam IKIP adalah pilihan terakhir setelah tidak ada kemungkinan diterima di perguruan tinggi lain yang ada fakultas kedokteran, fakultas hukum, fakultas ekonomi atau fakultas kepariwisataan. Setelah menjadi pilihan terakhir itu pun para anak muda lulusan SMA tidak mau selugas sekarang untuk mengatakan bahwa dirinya akan kuliah di IKIP dan kelak mau menjadi guru.
Maka begitulah guyonan-guyonan kemarin, bahwa, kenapa guru-guru yang ada sebagian besar tidak profesional dan bahkan bodoh-bodoh? “Ya karena orang-orang yang kuliah di IKIP dan kemudian menjadi guru itu adalah mereka yang tak diterima di lain tempat karena otaknya tidak cukup,” demikian celetukan sinis yang beredar.
Tetapi itu hanya guyonan lho. Mudah-mudahan tidak ada yang tersinggung dan marah. Sebab, kita semua percaya bahwa sosok-sosok guru kita selama ini adalah sosok-sosok terhormat, pejuang tanpa tanda jasa kecuali bonus sesekali. Guru adalah sebuah profesi dengan komitmen tinggi, keiklasan dan berideologi. Karena guru bukanlah profesi dengan profit tinggi, tanpa peluang politis yang punya daya tawar tinggi. Dan karena guru adalah sosok yang harus digugu dan ditiru!
Setelah puluhan tahun hanya menjadi obyek penderita dalam proses pembangunan dari bangsa terbelakang menuju bangsa besar dan maju bernama Indonesia Raya, di akhir tahun 2005 kemarin sekonyong-konyong pengelola negara dan bangsa ini melimpahkan kebaikan hatinya kepada para guru (dan juga dosen). Sebuah rancangan undang-undang untuk kesejahteraan guru diterima wakil rakyat yang terhormat dan disyahkan menjadi undang-undang. “Tahun-tahun mendatang, gaji guru minimal harus 3 juta rupiah!” Demikian salah satu kalimat ajaib dan sakral tertorehkan dalam lembaran undang-undang itu. Maka kendati implementasinya belum juga jelas dan kapan terealisasi, semua orang pun terperangah takjub. Dan di kalangan guru-guru sendiri sudah pastilah berbagai perasaan bercampur jadi satu. Kaget, takjub, tak percaya dan haru-biru. Para guru yang selama ini hidup seperti sebatang bonzai di rumah megah bangsa, kini ada tanda-tanda untuk bisa sedikit menggeliat, sedikit mendapat udara yang lebih segar dan ada kemungkinan untuk memenej rumah tangga dengan lebih baik dan sedikit bergengsi.
Pendek kata, kini nasib para guru di masa depan dapatlah dibilang cukup bersinar. “Saya ini guru lho, Dik,” demikian setidaknya seorang guru muda dapat meyakinkan pacar di depan calon mertuanya sebelum menikah.
KEMBALI ke soal bahwa meningkatnya minat anak-anak muda sekarang memilih profesi guru, sesungguhnya tentulah harus mendapat apresiasi yang baik. Untuk lima tahun ke depan, setidaknya di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah akan hadir lebih banyak tenaga guru muda. Ini memberi harapan, semoga wawasan pendidikan kita yang sudah karatan dan masih feodal serta hipokrit ini akan berangsur-angsur lebih segar, demokratis, serta tentu saja lebih bergairah dengan pemikiran-pemikiran inovatif kalangan muda yang akan mewarisi negara ini. Dan proses pendidikan pun bukan hanya sekedar menjadi kewajiban untuk mendapatkan selembar ijasah sebagai syarat mencari pekerjaan, tetapi pendidikan akan benar-benar menjadi bagian dari proses penyempurnaan hidup untuk membuat kehidupan bangsa dan negara menjadi lebih baik secara nyata, dan pendidikan benar-benar terbukti mampu menciptakan pekerjaan.
Masalahnya sekarang, saya dan mungkin juga banyak orang tiba-tiba harus mempertanyakan kembali fenomena kegairahan mendadak kalangan muda untuk menjadi guru ini. Apakah gairah ini memang benar-benar merupakan refleksi dari sebuah niat yang iklas untuk memajukan pendidikan bangsa? Ataukah gairah ini muncul karena semata-mata tergiur oleh iming-iming nominal gaji yang juta-jutaan itu? Atau ini merupakan desakan para orang tua yang selalu berdalih “demi kesuksesan dan kebahagiaan anak-anak di masa depan”?
Ya, para lulusan SMA sekarang berbondong-bondong hendak masuk IKIP atau perguruan tinggi sejenis yang bisa mencetak guru. Dengan tanpa gengsi lagi, dengan tegas dan lugas mereka mengaku ingin menjadi guru. Padahal tahun-tahun kemarin, profesi guru bagi anak-anak muda adalah sebuah kegengsian. Dulu, perguruan tinggi semacam IKIP adalah pilihan terakhir setelah tidak ada kemungkinan diterima di perguruan tinggi lain yang ada fakultas kedokteran, fakultas hukum, fakultas ekonomi atau fakultas kepariwisataan. Setelah menjadi pilihan terakhir itu pun para anak muda lulusan SMA tidak mau selugas sekarang untuk mengatakan bahwa dirinya akan kuliah di IKIP dan kelak mau menjadi guru.
Maka begitulah guyonan-guyonan kemarin, bahwa, kenapa guru-guru yang ada sebagian besar tidak profesional dan bahkan bodoh-bodoh? “Ya karena orang-orang yang kuliah di IKIP dan kemudian menjadi guru itu adalah mereka yang tak diterima di lain tempat karena otaknya tidak cukup,” demikian celetukan sinis yang beredar.
Tetapi itu hanya guyonan lho. Mudah-mudahan tidak ada yang tersinggung dan marah. Sebab, kita semua percaya bahwa sosok-sosok guru kita selama ini adalah sosok-sosok terhormat, pejuang tanpa tanda jasa kecuali bonus sesekali. Guru adalah sebuah profesi dengan komitmen tinggi, keiklasan dan berideologi. Karena guru bukanlah profesi dengan profit tinggi, tanpa peluang politis yang punya daya tawar tinggi. Dan karena guru adalah sosok yang harus digugu dan ditiru!
Setelah puluhan tahun hanya menjadi obyek penderita dalam proses pembangunan dari bangsa terbelakang menuju bangsa besar dan maju bernama Indonesia Raya, di akhir tahun 2005 kemarin sekonyong-konyong pengelola negara dan bangsa ini melimpahkan kebaikan hatinya kepada para guru (dan juga dosen). Sebuah rancangan undang-undang untuk kesejahteraan guru diterima wakil rakyat yang terhormat dan disyahkan menjadi undang-undang. “Tahun-tahun mendatang, gaji guru minimal harus 3 juta rupiah!” Demikian salah satu kalimat ajaib dan sakral tertorehkan dalam lembaran undang-undang itu. Maka kendati implementasinya belum juga jelas dan kapan terealisasi, semua orang pun terperangah takjub. Dan di kalangan guru-guru sendiri sudah pastilah berbagai perasaan bercampur jadi satu. Kaget, takjub, tak percaya dan haru-biru. Para guru yang selama ini hidup seperti sebatang bonzai di rumah megah bangsa, kini ada tanda-tanda untuk bisa sedikit menggeliat, sedikit mendapat udara yang lebih segar dan ada kemungkinan untuk memenej rumah tangga dengan lebih baik dan sedikit bergengsi.
Pendek kata, kini nasib para guru di masa depan dapatlah dibilang cukup bersinar. “Saya ini guru lho, Dik,” demikian setidaknya seorang guru muda dapat meyakinkan pacar di depan calon mertuanya sebelum menikah.
KEMBALI ke soal bahwa meningkatnya minat anak-anak muda sekarang memilih profesi guru, sesungguhnya tentulah harus mendapat apresiasi yang baik. Untuk lima tahun ke depan, setidaknya di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah akan hadir lebih banyak tenaga guru muda. Ini memberi harapan, semoga wawasan pendidikan kita yang sudah karatan dan masih feodal serta hipokrit ini akan berangsur-angsur lebih segar, demokratis, serta tentu saja lebih bergairah dengan pemikiran-pemikiran inovatif kalangan muda yang akan mewarisi negara ini. Dan proses pendidikan pun bukan hanya sekedar menjadi kewajiban untuk mendapatkan selembar ijasah sebagai syarat mencari pekerjaan, tetapi pendidikan akan benar-benar menjadi bagian dari proses penyempurnaan hidup untuk membuat kehidupan bangsa dan negara menjadi lebih baik secara nyata, dan pendidikan benar-benar terbukti mampu menciptakan pekerjaan.
Masalahnya sekarang, saya dan mungkin juga banyak orang tiba-tiba harus mempertanyakan kembali fenomena kegairahan mendadak kalangan muda untuk menjadi guru ini. Apakah gairah ini memang benar-benar merupakan refleksi dari sebuah niat yang iklas untuk memajukan pendidikan bangsa? Ataukah gairah ini muncul karena semata-mata tergiur oleh iming-iming nominal gaji yang juta-jutaan itu? Atau ini merupakan desakan para orang tua yang selalu berdalih “demi kesuksesan dan kebahagiaan anak-anak di masa depan”?
Kalau memang murni karena komitmen dan ideologi untuk memperbaiki pendidikan, ya, salut saja dan mari kita dukung dengan iklas pula. Tetapi jika karena alasan dua pertanyaan terakhir tadi, wah, kita pun masih harus tetap mengurut dada dengan sedih. Bahwa jika begini, niat untuk rame-rame menjadi guru itu sama saja dengan niat untuk rame-rame merampok negara. Dengan bahasa yang lain bunyinya menjadi begini: “Mumpung gaji guru akan tinggi, mari menjadi guru saja. Persetan dengan komitmen dan ideologi! Yang menggaji toh juga negara!” Aduh!
nanoq da kansas
7 komentar:
Maka lalu ada yang disebut seleksi alam. Nyemplung jadi guru tidak semudah nyuap jadi PNS. Aku percaya alam ikut menyeleksi para guru itu. Jadi optimis sajalah.
entah..!!mungkin juga benar, kenapa niat mulia untuk menjadi guru, setelah tersiar iming2 kesejahteraan super jumbo kepada guru,,hehe ikutan juga nichh masuk IKIP
hmmm, bener saya setuju dengan pendapat sudutastika, nantinya akan terseleksi sendiri guruguru yang berkomitmen thd "pendidikan", dan mana yang orientasinya duit :D
Salam..
Sama saja di Malaysia, ramai yg memohon untuk memasuki institusi perguruan. Dulu, bidang perguruan pilihan terakhir setelah gagal menempatkan diri ke universiti yg dihajati. Tapi kini, profesion perguruan sememang direbut2 kerana - setelah menamatkan kursus di institusi perguruan, peluang pekerjaan terjamin. (Dan lagi, waktu belajar di institusi perguruan, pelajarnya diberi elaun).
Cuma, saya berharap, setelah mereka ini bergelar 'guru', sememangnya mereka betul2 layak menjadi pendidik yg berkhidmat kpd agama, nusa & bangsa.
aku bisa kerana jasa bakti seorang guru, menurutku Guru tetap menjadi profesi paling mulia dan terbaik sampai sekarang
Mampir kedusun ini selalu menyenagkan dan ada saja yang menarik untuk dibaca, dan bikin gatel untuk 'urun rembug'.
Euforia semacam ini yah memang pantes dan sah - sah saja apalagi ditengah sulitnya mendapatkan pekerjaan apesnya lagi sebagian besar penduduk masih bingung untuk menciptakan kerjaan sendiri jadi masih serba nunggu dikasih kerjaan.
Yang saya rasa perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana para 'guru' baru nanti bukan menjadi benalu atau lintah yang lain di negri ini karena setelah mereka merasa nyaman dengan gaji yang 'baik' trus masa bodoh dengan kualitas yang mereka berikan kepad anak didik.
Selain itu memang sudah waktunya untuk memberikan penghargaan yang layak buat ilmu yang mereka bakal bagikan dan semoga ilmu putih bukan ilmu hitam he he
Mantap gan artikel nya :)
Agen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola
Posting Komentar