Perempuan (Bali) di Bilik Politik

Kecemasan saya atas nihilnya kehadiran perempuan Bali di tengah pusaran atmosfir politik lokal yang kini sedang menggeliat di Bali, ternyata memang terjadi. Bahwa, di tengah gairah perebutan tampuk pimpinan Bali pasca Gubernur Dewa Made Berata, para perempuan Bali sama sekali tidak (mencoba) ikut ambil bagian. Ke mana mereka? Atau, apakah yang terjadi dengan para perempuan (di) Bali? Entahlah!

Sampai menjelang detik-detik terakhir pendaftaran para kandidat calon gubernur ke KPUD Bali, perempuan Bali benar-benar luput. Kita hanya menyaksikan kesempatan yang ada diambil sepenuhnya oleh kaum lelaki. Dominasi tidak hanya dilakukan oleh kaum lelaki yang memang sebagai pelaku utama drama demokrasi dengan berbagai partai politik yang ada, tetapi juga oleh mereka, kaum lelaki, yang sejatinya hanyalah sebatas penggembira demokrasi pilkada seperti misalnya para bebotoh dan broker atau makelar suara yang tak jelas ideologi politik maupun ideologi perjuangannya. Sejauh ini kita tak sempat mendengar ada tokoh dari kalangan perempuan Bali yang mencoba memunculkan diri ke permukaan untuk misalnya menyatakan diri ikut mencalonkan diri, siap memimpin Bali dengan visi dan misi membawa Bali ke arah pembangunan yang lebih realistis dan sebagainya.

Ataukah saat ini perempuan Bali memang tidak punya tokoh? Jangan-jangan begitu! Tetapi dengan melihat kenyataan sehari-hari di mana di jalanan kita saksikan kehadiran perempuan Bali dalam berbagai aktifitas dan profesi dengan berbagai status sosial hingga berbagai status intelektual, kenyataan ini tentulah membuat miris. Apa artinya kemudian kesetaraan gender yang selama ini mereka kumandangkan serta perjuangkan hingga berbusa-busa dan berdarah-darah? Apa artinya “kebebasan” yang kini telah mereka peroleh?

Dengan dinamika dunia dan kehidupan sosial-politik yang ada saat ini, tentulah kaum perempuan (Bali) tidak boleh tersinggung jika kemudian ada yang mencibir bahwa ternyata kesetaraan yang selama ini mereka perjuangkan hanya digunakan sebagai kamuflase penampilan. Kamuflase agar mereka punya alasan boleh ikut hilir mudik sampai larut malam di tengah keramaian di antara para laki-laki. Kesetaraan gender yang diperjuangkan dan kemudian berhasil didapat oleh kaum perempuan di Bali, ternyata tidak lebih dari upaya untuk semata-mata agar bisa “ikut bebas seperti laki-laki” tetapi kemudian tanpa daya untuk memaknai apapun atas kebebasan tersebut.

Maka kecemasan atas ranah politik Bali yang sama sekali tanpa disertai “bau” perempuan, menjadi pantas dirasakan siapa saja. Bukan kecemasan bahwa di bawah dominasi kepemimpinan kaum lelaki Bali lantas akan tetap terpuruk dan semakin kehilangan identitasnya. Bukan semata-mata rasa cemas akan masih termarjinalkannya perempuan dalam peran sosial politik di jagat Bali yang kini sudah demokratis ini, tetapi cemas dalam sebuah pertanyaan sederhana: Di mana kaum perempuan Bali?

Sementara itu di jalanan, sudah lama sekali kita saksikan keriuhan para perempuan (modern) Bali yang demikian perkasa dalam argumen-argumen masa kini, sekali lagi dan terutama, soal kesetaraan. Tanpa perlu menyebut nama-nama, tidak sedikit dari mereka yang dalam berbagai orasi tegas-tegas menentang dan menyatakan siap membendung dominasi kaum lelaki atas berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya di Bali. Tidak kurang banyaknya dari mereka yang dengan lantang berani berbaku polemik dan gagasan, beradu idealisme dengan kaum lelaki di berbagai seminar atau forum-forum mengenai berbagai aspek kehidupan di atas tadi.

Apakah semua itu memang hanya sebatas kekenesan yang bersifat naluriah di antara bedak, gincu, sanggul, kain berwiru, brokat, rok pendek serta sandal berhak tinggi semata? Terlalu sinis rasanya jika pertanyaan ini diperpanjang!

Yang jelas, kini kita dapat melihat nun jauh di seberang sana, sudah banyak perempuan yang membuktikan keberanian mereka untuk tampil setara dengan para lelaki. Mereka ada yang menjadi bupati, ada yang mencalonkan diri jadi gubernur, ada yang menjadi anggota dewan, menteri, pemimpin bank, ada yang menjadi supir bus, hingga menjadi TKI ke luar negeri. Hanya saja di sini, di Bali, kita masih perlu dengan cemas bertanya: Ke mana perempuan Bali? Entahlah, yang pasti mereka telah melewatkan sebuah momentum kesetaraan yang sejatinya sejak dulu dengan berdarah-darah mereka perjuangkan. Sayang memang!

1 komentar:

Posting Komentar