“Kebudayaan” buat Dadap dan Wendra

Bagi saya, pikiran SBY hanya romantisme belaka...!Sudahlah... kita mestinya berpikir progresif, berpikir sebuah keniscayaan... Budaya itu dinamis... Baik dulu belum tentu cocok diterapkan sekarang... Jika mungkin bisa belum tentu mudah diterapkan sekarang... Sudah banyak perubahan disana-sini otak kita!....banyak pemikiran yang harus saya tulis disini sebelumnya, namun langsung saja ingin saya sampaikan sebuah ide besar saya:Bahwa kebudayaan yang ada di dunia (manusia) akan menjadi satu kebudayaan saja: budaya manusia. Butuh beratus bahkan beribu tahun lagi... Percayalah itu niscaya! (dadap)

******

Kebudayaan (lama) memang harus kembali dihidupkan, boz. Tapi pertanyaannya, apakah itu masih bisa diterjemahkan lagi? Untuk masalah ini, kita tidak bisa hanya mengandalkan kata "yakin" saja. Kita harus jujur, sepakat atau tidak pergeseran karakteristik masyarakat karena berbagai hal (entah itu ekonomi ataupun politik) telah menciptakan "budaya baru" bagi masyarakat itu sendiri. Hanya saja, apakah "budaya baru" ini akan mampu mengembalikan daya tawar bangsa kita di mata dunia? Semuanya butuh proses...(wendra)

******


Dua sub tulisan di atas adalah komentar dua adik saya, Dadap dan Wendra atas tulisan saya “Diplomasi Kebudayaan”.

Tentu saya sepakat, bahwa budaya, bahwa kebudayaan, adalah dinamis, seperti dikatakan Dadap. Kemudian Wendra menyinggung soal “budaya lama” dan “budaya baru”. Ya, yang dimaksudnya tentulah juga kedinamisan itu sendiri.

Sekali lagi saya sepakat. Itu pulalah sebabnya saya termasuk orang yang menolak Ajeg Bali yang beberapa tahun terakhir ini gencar dikampanyekan di Bali oleh para elit tertentu. Khusus untuk hal ini, penolakan saya terutama sekali karena di dalam kampanye Ajeg Bali itu sendiri secara jelas-jelas ada upaya dan kehendak penyeragaman terhadap “kebudayaan Bali” termasuk terhadap orang Bali sendiri. (Mungkin suatu saat saya akan membahas ini dalam tulisan khusus).

Kebudayaan yang saya maksud dalam tulisan “Diplomasi Kebudayaan” kemarin, bukanlah kebudayaan dalam batasan-batasan tertentu. Tetapi kebudayaan yang konteksnya universal, atau mungkin yang disebut Dadap dengan istilah “budaya manusia”.

Kalau mau dipanjang-panjangkan, “politik” dan “ekonomi” itu sendiri (dalam dunia manusia), ya otomatis bagian dari “budaya manusia” itu sendiri. Bahwa untuk menata teritorialnya, manusia butuh politik. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan mendasar hidupnya manusia perlu (kegiatan) ekonomi. Dan semua ini juga sudah terjadi sejak manusia ada hingga keniscayaan ke depan nanti (dulu, sekarang dan nanti).

Tetapi, sekaligus menjawab Wendra, saya pun tidak ingin memaksakan agar sekarang kita kembali kepada “budaya dulu” (kuno) atau budaya sekarang (modern) itu sendiri. (Wendra mengistilahkannya “kebudayaan lama” dan “kebudayaan baru”. Saya hanya ingin mengingatkan para pemegang kebijakan atau para pengelola negara dan bangsa ini, atau paling tidak diri saya sendiri saja, bahwa sudah sepatutnya sekarang kita kembali kepada “diplomasi budaya”. Saya tidak mempermasalahkan “diplomasi budaya” itu diterjemahkan dengan menggunakan “budaya lama” atau “budaya baru”, diterjemahkan dengan menggunakan “budaya manusia” atau budaya apapun juga, yang penting diplomasi yang berpijak pada “kebudayaan” yakni berpijak pada kesejatian hakiki kemanusiaan yang tidak hanya didasari oleh kepentingan eksklusif). Karena dalam tulisan saya tersebut, jelas-jelas saya katakan bahwa belakangan ini para elit kita lebih suka melakukan sesuatu hanya dengan “diplomasi politik” dan “diplomasi ekonomi” yang jelas-jelas pula tidak ampuh karena di dalamnya tidak menyentuh aspek kebutuhan dan keinginan bersama sebagai sebuah bangsa.

Saya juga tidak punya pikiran buruk terhadap pikiran SBY (presiden) yang hanya romantisme belaka seperti kata Dadap. Sepanjang itu berguna dan mampu menolong bangsa ini dari segala macam krisis dan keterpurukan, romantisme bukanlah sesuatu yang buruk. Begitu pula cara berfikir progresif bukanlah sesuatu yang pasti baik atau pasti buruk. Dalam konteks ini, sepanjang itu bermanfaat bagi kemaslahatan bangsa secara utuh, kenapa tidak? Bukankah romantisme dan progresifitas itu sendiri wujud dari dinamisasi kebudayaan?

nanoq da kansas

2 komentar:

Anonim mengatakan...

wah, topik yang berat bli. tapi saya coba kemukakan pendapat.

saya berpendapat bahwa kebudayaan (baca:kesenian, seremoni adat, kehidupan keseharian, dlsb) indonesia selama ini cenderung menjadi komoditi doang, dijual, digembargemborkan kesana kemari daripada dipelajari, dihayati,dan dimaknai. tapi bagaimana lagi, mungkin hanya itu yang bisa dilakukan bangsa indonesia sekarang. menjualnya!

budaya agraris, merujuk pada kegiatan memenuhi kebutuhan dasar dengan jalan 'bercocoktanam' yang (dulu)dipercaya sebagai way of life indonesia terbukti tak cocok lagi dengan keadaan sekarang dimana orang butuh uang untuk berlomba membeli katakan hape model terbaru, atau motor keluaran terbaru.bukankah yang paling kelihatan didepan mata adalah, 'berdagang'.

tapi mengamininya (menjual budaya) bukanlah hal yang bijak. di bali(saya ambil contoh bali karena sangat mencolok) saya yakin orang yang menghayati tarian ataupun megamel dengan hati dan kesadaran untuk me'lestarikan' budaya jumlahnya tak sebanyak mereka yang melakukan hal itu merely for money.

ah, semoga tidak, semoga apa yang saya katakan ini salah :)

situs poker mengatakan...

Mantap gan artikel nya :)

Agen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola

Posting Komentar