Rakyat Indonesia Tak Butuh Pemilu

Malaysia dan beberapa negara di belahan lain dunia, sebagaimana berita-berita media massa belakangan ini, mungkin saat ini sedang berancang-ancang melakukan percepatan pemilu karena berbagai pertimbangan politis internal masing-masing. Tetapi untuk negeri awak sendiri, Indonesia, justru pemilu tidak atau belum dibutuhkan. Kenapa? Bukankah tahun 2009 nanti republik ini memang sudah tiba pada jadwalnya untuk menyelenggarakan pemilu?

Dari perspektif agenda politik demokrasi dan kekuasaan, tahun 2009 Indonesia memang harus melakukan pemilihan umum untuk anggota parlemen dan presiden. Tetapi apakah itu memang lebih penting ketimbang menyelesaikan berbagai persoalan mendasar yang saat ini tetap saja bersikukuh hendak menenggelamkan negeri ini ke dasar kebangkrutan?

Coba saja kita tengok, betapa bangsa ini tak berdayanya dengan krisis-krisis seputar kebutuhan mendasar rakyatnya semacam sembako, tempat tinggal yang layak, bahan bakar, energi listrik, pekerjaan dan kepastian hukum. Sudah empat kali pemerintahan dan presiden berganti pasca orde baru yang konon orde paling menyengsarakan rakyat, tetapi dari sisi mananya kita mesti mengatakan bahwa keadaan bangsa ini sudah menjadi lebih baik?

Tidak ada yang lebih baik. Yang lebih ruwet dan panas, baru ada!

Bayangkan, bagaimana tidak ruwet dan panas jika sebagian besar rakyat sampai detik ini masih juga dilanda krisis pangan? Beras luar biasa mahalnya, padahal negeri ini punya potensi lahan dan sawah tak tertandingi luasnya oleh negara manapun di dunia. Untuk mendapatkan sekilo beras berkualitas cukup baik, saat ini rakyat kecil harus merogoh uang minimal Rp. 5000. Itu belum lagi ditambah harus beli minyak tanah yang juga luar biasa mahalnya, beli minyak goreng yang luar biasa mahalnya, beli bumbu yang luar biasa mahalnya, beli daging dan ikan yang luar biasa mahalnya.

Untuk makan dengan nilai gizi standar (belum sempurna) saja, sebuah keluarga sederhana dengan jumlah anak dua orang, rakyat harus keluar biaya minimal 20 ribu rupiah sehari. Dan itu mau tidak mau masih harus ditambah dengan pengeluaran ongkos trasportasi lokal yang luar biasa mahalnya, ongkos penerangan rumah (listrik) yang luar biasa mahalnya, biaya beli sabun mandi, sabun cuci dan obat sakit gigi, sakit kepala, obat panu, obat batuk dan pilek yang juga luar biasa mahalnya. Jadi setiap hari, untuk bisa hidup normal, setiap keluarga rakyat jelata yang merupakan 90 persen penduduk negeri ini harus mengkongkosi hidupnya minimal 40 ribu rupiah. Padahal jumlah itu adalah penghasilan maksimal rata-rata kepala keluarga kebanyakan yang sudah punya pekerjaan tetap. Bagaimana dengan keluarga yang kepala keluarganya belum berhasil mendapatkan pekerjaan tetap?

Di tengah keruwetan hidup yang seperti itu, rakyat setiap hari juga dibenturkan dengan persoalan-persoalan elitis yang tak pernah lekang mengganggu negeri. Kisah dan kasus korupsi yang sambung-menyambung dengan edisi yang selalu terbarukan semakin membuat negeri ini bangkrut dengan utang-utang luar negeri Setiap hari konon ada kasus korupsi yang terbongkar dan koruptor yang tertangkap dan disidang di pengadilan, tetapi ajaibnya tak pernah ada terdengar berita apa dana-dana yang sudah dikorupsi itu berhasil ditagih kembali oleh pemerintah? Apa biaya untuk membongkar korupsi dan menangkap serta menyidangkan para koruptor itu kembali modal atau justru malah nombok? Kalau misalnya dana-dana yang telah dikorupsi yang jumlahnya trilyunan itu berhasil ditagih, kok negeri ini tetap saja tak mampu bikin listrik sendiri, tak mampu bikin minyak untuk rakyat, tak mampu bikin sekolah gratis untuk rakyat, kok tak mampu bikin subsidi kesehatan yang baik untuk rakyat jelata, tak mampu menyediakan transportasi murah bagi rakyat, tak mampu bikin rumah murah dan layak untuk rakyat yang berjelal-jejal di sepanjang bantaran kali, sepanjang tepi rel kereta, sepanjang kolong tol, dst... dst...? Kok...?

Maka, ya ini serius, rakyat Indonesia tak butuh pemilu saat ini. Apalagi persiapan untuk perhelatan itu sendiri juga menghabiskan trilyunan kas negara, dengan hasil yang dari satu pemilu ke pemilu berikutnya tak pernah bisa memperbaiki negeri dan nasib anak-anak negerinya.

Lebih-lebih untuk pemilu 2009 nanti, bagaimana kita bisa memupuk rasa optimisme bahwa para calon wakil rakyat dan para calon presiden dan wakil presiden nanti akan mampu memperbaiki negeri? Karena seperti yang kita lihat di televisi-televisi dan kita baca di koran-koran, mereka yang bermain di ranah politik serta berkehendak duduk di kursi parlemen dan istana sana, toh yang itu-itu juga. Yang itu-itu, yang sudah pernah kita lihat sepakterjangnya selama ini, yang pada akhirnya juga tak berdaya ketika berhadapan dengan persoalan riil negeri ini. Sementara calon-calon yang terlihat lebih muda tak lebih dari para artis penghibur yang selama ini untuk memperkaya dirinya rela menjadi agen-agen industrialisasi hiburan yang sepanjang masa meninabobokkan bangsa ini dengan hiburan-hiburan berupa sinetron-sinetron tak bermutu, film-film tak bermutu, lagu-lagu tak bermutu, lenggang-lenggong tak bermutu.

Kalau mencermati proses persiapan pemilu (legislatif) di pelosok daerah, rasa optimisme akan perbaikan negeri dan nasib rakyat bahkan semakin meredup. Para caleg yang maju, sebagian besar tak punya kualitas baik secara politik, sosial, etika maupun intelektualitas selain hanya merasa berjasa buat partainya masing-masing. Sebagian besar caleg di daerah maju hanya karena alasan mereka adalah para kader suatu partai yang telah berjasa kepada partai dan ketua umum partainya maka sekarang pantas duduk di gedung parlemen menikmati gaji dan uang tunjangan minimal selama lima tahun. Sementara untuk nanti berjuang memperbaiki negeri, mereka bahkan tak ada yang punya konsep.
Jadi sekali lagi, kita perlu bertanya-tanya sendiri: apakah rakyat yang hingga saat ini kelimpungan dengan biaya hidup begitu tinggi butuh pemilu? Apakah rakyat yang kelimpungan kesulitan minyak tanah, gas elpiji, bensin, solar dan listrik, butuh pemilu? Apakah rakyat yang menjadi korban lumpur itu butuh pemilu? Apakah rakyat yang tak mampu menyekolahkan anak-anaknya itu butuh pemilu? Apakah rakyat yang sepanjang masa digusur dari kolong-kolong jembatan, digusur dari trotoar kota dan emper-emper stasiun atau emper pasar itu butuh pemilu? Apakah rakyat yang selalu kesulitan pupuk dan obat-obatan bagi tanamannya itu butuh pemilu? Apakah rakyat yang selalu ketakutan di bawah teror kelompok-kelompok tertentu itu butuh pemilu? Apakah kita butuh pemilu? Dan, apakah pemilu akan mampu menolong bangsa dan rakyat Indonesia ini untuk menjadi lebih baik?
nanoq da kansas

1 komentar:

Arjuna Valentino mengatakan...

Di tengah keruwetan hidup yang seperti itu, mari bersama-sama diam!, dan duduk hening.
Kenapa, kok politik kita, tetap tak mampu memberi jalan keluar dan seolah-olah selalu sakit. Anehnya penyakitnya, toh yang itu2 saja, tak pernah ada perubahan.

Minimal di setiap hajatan (pemilu) dan kita pun memiliki pemimpin baru, kami kerap memiliki harapan yang sama. Yakni, setidaknya ada kemiripan seperti tokoh Satria Baja Hitam, yang mampu untuk selalu BERUBAH dan berubah!!!, bahkan di setiap kondisi segawat apapun mampu berjuang dan merubah hidup kita!!. Jadi, Setuju tuch.. di negeri kita tidak perlu lagi ada pemilu, jika nasibku dan nasibmu tetap sama dan sama!!..

Posting Komentar