Bakso Fundamentalis

Seorang ayah dua anak dari Dusun Kelating Desa Kerambitan, Tabanan, mengeluh. “Aneh-aneh saja awig-awig (peraturan adat) di desa saya saat ini. Masak warga dilarang membeli bakso dari para pedagang Jawa itu. Sementara anak-anak saya menangis terus bila melihat ada dagang bakso lewat. Pusing saya. Lama-lama saya tidak betah menjadi warga adat yang makin aneh ini,” demikian lelaki yang kesehariannya tak terlalu banyak bicara itu.

Bakso, belakangan memang menjadi barang istimewa di Bali. Sebelum diributkan temuan kandungan formalin atau borax dalam proses pembuatan pentolnya, dia (bakso) sudah menjadi bulan-bulanan segelintir elit Bali yang entah kerasukan apa tiba-tiba menjadi begitu fanatiknya dengan aroma kedaerahan. Bakso sapi, terutama yang dijual oleh pedagang keliling dari luar Bali, tiba-tiba disarankan agar dihindari oleh warga masyarakat lokal. Seperti yang dialami bapak dua anak di atas tadi, di beberapa tempat di Bali warga lokal bahkan dilarang membeli bakso oleh elit-elit setempatnya dengan peraturan atau awig-awig segala.

Di suatu kawasan di Denpasar, para pedagang bakso keliling juga sempat diuber-uber petugas trantib dan para pecalang (petugas keamanan tradisional). Alasannya, terutama tentu saja dengan kedok demi ketertiban kota, kebersihan pemandangan trotoar dan sejenisnya. Para pedagang bakso keliling dengan gerobak dorong itu diperiksa identitasnya, kemudian bila perlu dengan suatu alasan diusir. Untuk sementara, hanya pedagang bakso (sapi) yang membuka usaha berbentuk rumah makan yang tidak diganggu. Sekali lagi, para pedagang bakso jalanan dilarang keras.

Dugaan bahwa semua itu hanya demi “kebersihan kota” dari pedagang kaki lima, ternyata tidak sepenuhnya iya. Karena tidak lama setelah pelarangan padagang bakso keliling tersebut, di jalan-jalan kembali terlihat orang-orang mendorong gerobak bakso. Hanya saja kali ini di gerobaknya ada plakat yang berbunyi “Bakso Krama Bali”. Dan bakso yang dijual tidak lagi dari daging sapi, tetapi daging babi. Pedagangnya adalah orang (krama) Bali yang sebelumnya dilatih cara-cara membuat bakso oleh suatu lembaga nonformal yang beberapa tahun ini getol sekali mengumandangkan slogan “Ajeg Bali”. Hebatnya lagi, para pedagang Bakso Krama Bali itu konon dihimpun dalam suatu badan yang bernama Koperasi Krama Bali.

Menariknya, ternyata baik orang dari luar Bali maupun warga lokal Bali sendiri, sama sekali tak menunjukkan reaksi tertentu oleh kehadiran bakso jenis baru ini. Bali tetap adem ayem dengan segala rutinitas dan dinamikanya. Para pedagang bakso sapi yang dilarang lagi berjualan di jalan-jalan kota dan masuk pelosok-pelosok kampung, sama sekali tak berani melakukan protes. Mereka yang kini terpaksa menganggur itu hanya melihat dengan mata nanar lahannya telah diambil alih. Sebagian dari mereka banting setir ke usaha lain semisal jualan mi ayam, batagor, sate ayam atau jagung bakar, ada pula yang berubah profesi jadi buruh bangunan. Sementara warga masyarakat Bali terutama yang gemar bakso, juga tak menunjukkan reaksi apa-apa. Mereka tidak cukup antusias dengan adanya bakso baru itu, tetapi juga tidak terlalu merasa kehilangan dengan lenyapnya bakso sapi sebelumnya. Warga masyarakat Bali terlalu sibuk dengan pekerjaan yang lebih penting daripada hanya mengurus semangkok bakso.

Yang menggelitik, justru pertanyaan sederhana yang sering terlontar dari warga masyarakat bukan penggemar bakso. “Berapa lamakah Bakso Krama Bali itu akan bertahan?” Pertanyaan ini muncul, bukan karena misalnya rasa bakso Bali itu tidak seenak bakso Jawa, bukan karena misalnya pembeli bakso daging babi tidak akan seramai pembeli bakso daging sapi yang dianggap lebih netral di tengah kehidupan warga bangsa yang sangat plural ini, tetapi, sebaik apakah kesiapan mental orang Bali untuk mau turun ke jalan mendorong gerobak bakso?

Dan kenapa selama ini bakso-bakso yang dijual dengan gerobak dorong di jalanan itu selalu dilakukan oleh orang Jawa atau warga dari luar Bali? Jawabannya sederhana, bahwa, warga lokal (orang Bali) memang tidak pernah punya tradisi kehidupan seperti itu. Orang Bali tradisinya adalah matekap ke sawah, mencangkul di tegal, ngukir, megambel, menari, ngecel ayam jago, ngelawar, memasak komoh, memasak sate lilit. Sejak dulu tidak terpikirkan oleh warga lokal Bali untuk mendorong gerobak kaki lima di jalan untuk menjual bakso. Kalau pun ada ibu-ibu yang keluar rumah berjualan makanan, mereka lebih suka memasang meja di pinggir jalan, di bawah emper bale banjar, di jaba pura, atau membuka warung nasi di tempat-tempat keramaian semacam di arena pertunjukan drama gong, di lokasi tajen dan sejenisnya.

Karena tradisi itulah warga lokal masyarakat Bali tidak pernah merasa keberatan melihat warga luar Bali yang turun ke jalan-jalan mendorong gerobak bakso, gerobak mi ayam, gerobak gado-gado dan sejenisnya. Warga masyarakat lokal Bali sadar betul bahwa urusan rejeki masing-masing orang punya peluang. Sudah berpuluh-puluh tahun warga lokal Bali menerima dan menikmati kehadiran gerobak bakso warga luar tanpa pernah ada perasaan cemburu, iri, atau takut rejekinya terancam.

Maka ketika sekonyong-konyong (konon) ada “penolakan” atas kehadiran para pedagang bakso dari luar Bali itu, sebuah pertanyaan yang tak lucu juga menggelitik di benak saya: Apakah Bali sedang bersiap-siap untuk menjual Bakso Fundamentalis? Dan, itu Bali yang mana?

nanoq da kansas

11 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah, baru tahu aku kalo di Bali ada masalah kayak gitu...
Makasi dah posting ya bli...
Bakso is the best..entah dari babi, sapi, udang, ikan , ayam...hehehe..penggemar bakso :p

Anonim mengatakan...

Aduh... gimana dong kalo saya ke sana... musti hati-hati dong... kan saya ga boleh makan babi... (Dari pengamatan diam-diam saya persoalan serupa dengan berbagai bentuk sering bermunculan sejak ada otonomi daerah... bener ga ya...)

Anonim mengatakan...

Hmm, sepertinya sedikit ada diskriminasi kultur disini bang. Apa iya? Perlu diadakah temu masyarakat di banjar bang nanoq untuk masalah penjualan bakso ini.

Anonim mengatakan...

sebuah fenomena atau kejaidan seperti ini selalu bermuara pada suatu keadaan yang dirasa tidak menyeangkan oleh para pencetusnya dan kemudian diamini oleh lingkungan sekitarnya maka jadilah semacam sentimen kecil - kecilan. Tapi bila hal ini diabaikan bisa jadi akan menghilang dengan sendirinya seperti sekarang ini akupun hampir tidak lagi melihat bakso krama bali mondar - mandir dijalan :-)

Arogansi budaya dan rasa yang berlebihan bisa jadi bumerang buat mereka sendiri karena perlu kekuatan khusus dan ketabahan (untuk) sekedar menjadi pedagang Bakso keliling, tidak cukup kuat hanya didasarkan pada rasa sentimen saja...

Mungkin saya salah :-)

Anonim mengatakan...

Hemm... pikiran dogmatis yang menjelma menjadi "ajeg bali" juga bukan tanpa sengaja untuk dihembuskan. Mari kita tunggu setelah pemilu ini selesai, kira-kira bagaimana perkembangannya.

Anonim mengatakan...

Bakso adalah suatu kambing hitam dibaliknya ada pengalihan perhatian agar dapat menyembunyikan sesuatu dan sekaligus penghilangan jejak. Ho ho ho saya setuju apa yang diutarakan The Dexter. Inilah dustanya dunia.
Noq, tolong buka situsku yang baru,saya mencoba belajar di wordpress, mohon saran dan masukkannya, maklum saya terbiasa di blogspot, jadi celepotan juga. http://arsyadindradi.net terima kasih.

Anonim mengatakan...

kepada semua sahabat yg telah berkomentar:
Ya iya, semua ini adalah hasil koalisi golongan tertentu yang merasa memegang hegemoni di Bali dengan sebagian elit (pemegang kekuasaan) di Bali - terutama Bali timur dan selatan. Seperti yang sudah saya tulis di atas, bahwa akhirnya fenomena ini tidak mendapat respon yang cukup di kalangan warga masyarakat bawah. Mau "Ajeg Bali", mau bakso sapi atau bakso babi, itu bukan urusan mendasar masyarakat Bali yang sejak dulu sudah terbiasa hidup bersama dalam pluralitas yang sangat dinamis.

Seperti juga dikatakan Bali Dream Home, bahwa ketika hal ini diabaikan oleh kalangan masyarakat kebanyakan, akhirnya toh hilang begitu saja.

Hanya saja saya merasa perlu untuk mencatat dan membaginya kepada para sahabat blogger, bahwa hal-hal seperti ini masih saja terus terjadi dan ada di tanah air kita tercinta. Masalah sentimen golongan atau kelompok, diskriminasi antar kalangan, baik di Bali, Jawa, Sumatera, Papua dan di tempat lain, masih sangat potensial terjadi. Dan hal-hal seperti ini kadangkala justru terbangun dari statemen-statemen elit tertentu yang ingin atau punya tujuan tertentu demi kepentingannya sendiri. Jadi, kita tetap mesti waspada dan berkepala dingin jika menghadapi fenomena semacam ini.

Dan sangat bisa jadi juga seperti dikatakan Abang Arsyad Indradi, suatu statemen, suatu sentimen sengaja diciptakan hanya untuk mengalihkan perhatian publik dari sesuatu yang lebih besar. Semoga negeri kita senantiasa damai dan semakin dewasa. Salam.

Unknown mengatakan...

waks baru tau loh bli klo gak boleh mkn bakso sapi disana hihih...pdhl aku kan mo ke bali ntar mei :D

Anonim mengatakan...

Kalo gitu aku mungkin tidak akan pindah kebali, karena aku tidak bisa hidup tanpa Bakso ( pastinya bakso sapi)

Agung Suryo mengatakan...

kalo mau makan bakso di aceh coba aja mampir ke bakso blower
yang jual cuantik bikin bakso tambah mak nyos hihihi :P
ada juga bakso ramayana dengan mi ayam yg mantab

habbats mengatakan...

Terima Kasih sudah posting artikel yang bermanfaat. Semoga Sukses dan Silahkan Klik Tautan Dibawah Ini
MaduHabbatussaudaJual Minyak HabbatussaudaMinyak ZaitunProduk HabbatsProduk HerbalObat HerbalHabbatussauda Dosis TinggiHabbats.co.idHabbatsAozora Shop Onlinetoko onlineJual Baju AnakJual Baju BayiJual Baju DewasaJual Sepatu BayiJual Sepatu anak AnakJual Sepatu DewasaJual Perlengkapan BayiJual Perlengkapan Anak AnakJual Perlengkapan DewasaTupperwareTupperware MurahTupperware UpdateTupperware Bandung juaraJual TupperwareKatalog TupperwareJual Online TupperwareTupperware ResepTupperware katalog baruRaja Tupperware BandungCollection TupperwareMadu Anak SuperMadu Anak CerdasJual Madu Anak SuperPusat Jual Madu Anak SuperJual Madu SuperMadu Anak SuperJual Madu AnakToko Madu AnakAgen Madu Anak SuperDistributor Madu Anak Super

Posting Komentar