Herlina

Sebuah kenangan: 2003

Herlina namanya. Manis, dengan kulit yang tak terlalu putih, tetapi tidak hitam. Suatu siang, dia datang ke markas Komunitas Kertas Budaya di bilangan Jalan Sudirman. Tidak sendiri, tetapi dengan seorang sahabat kentalnya.

Kedatangan seseorang, dua atau tiga orang ke markas para seniman muda Jembrana tersebut, tentulah bukan hal aneh apalagi luar biasa. Rumah kost yang kemudian dijadikan semacam sebun (sarang) oleh anak-anak muda yang senantiasa gelisah dalam dunia kreatif bernama kesenian itu, memang setiap hari selalu menjadi tempat transit banyak orang. Mulai dari wartawan, guru, siswa, PNS, pelukis, penyair, penari, tukang gitar jalanan hingga tukang ojek. Bukan untuk mengerjakan sesuatu yang luar biasa. Tetapi di sana mereka melakukan sesuatu yang sederhana saja. Ada beberapa majalah, beberapa surat kabar terbitan lokal dan nasional, ada lukisan, sebuah komputer, gitar dan sebuah rak yang dipenuhi buku-buku.

Tetapi, siang itu, kedatangan gadis remaja bernama Herlina itu mendadak menjadi lain. Dia seolah menjadi warna yang memberi sentuhan indah, setidaknya dari hari-hari biasanya. Dia memberi gairah hidup kepada beberapa orang yang sebelumnya sudah nongkrong terlebih dulu di sana. Sebutlah Sotang misalnya, pemuda yang sehari-harinya berjualan martabak di perempatan Tegalasih itu mendadak jadi tertarik pada komputer. Padahal sebelumnya, komputer baginya tak lebih dari virus menyebab sakit kepala.

Demikian juga dengan Boyke. Musisi muda jalanan yang kini menjadi seorang menejer di Denpasar itu, tiba-tiba seperti mendapat inspirasi baru untuk gubahan musikalisasi puisinya. Padahal sebelumnya, dia mengaku sudah kehabisan nada untuk sebaris syair pun. Lalu Gung Dek, pemuda yang sejak dulu menyimpan obsesi mendirikan kelompok musik akustik di Jembrana itu, mendadak jadi tampak bergairah lagi. Padahal sebelumnya, dia sudah merasa putus asa menyikapi kecenderungan anak-anak muda sekarang yang menurutnya lebih suka mengaku-ngaku main musik tetapi sebenarnya mereka hanya berteriak-teriak saja.

Di sudut lain, ada Agus. Ayah tiga putra-putri yang selalu didaulat menjadi bos itu pun mendadak terharu. Bukan karena apa, tetapi ia sekonyong-konyong merasa masih melihat harapan bahwa ada juga remaja sekarang yang mau untuk tidak terkenal. Padahal sebelumnya, Agus sudah sangat pesimis akan ada gadis remaja yang mau diajak menggarap “musik aneh” bernama musikalisasi puisi. “Ini tidak akan membuat kalian terkenal. Kalau mau terkenal, cobalah kalian melamar jadi penyanyi dangdut atau pemain sinetron saja,” demikian Agus selalu mengingatkan para remaja yang coba-coba ingin bergabung. Celakanya, peringatan Agus itu pun ternyata cukup manjur. Terbukti, keesokan harinya anak-anak remaja yang semula antusias itu mendadak mengundurkan diri satu-persatu. “Kami memang butuh popularitas. Sorry aja ya...,” demikian para remaja bunga itu berujar.

Yang paling seru tentu saja Mas John. Bapak dua anak yang sehari-hari lebih dikenal sebagai tukang taman daripada pemain musik ini, sekonyong-konyong berubah penampilan. Tiap hari keren melulu. Rambut panjangnya yang biasa terikat, kini dibiarkan tergerai. Alat-alat semacam gitar, bas atau biola yang suaranya sember yang biasanya selalu mendapat perhatiannya, kini dibiarkan saja. “Sudah indah kok suaranya,” demikian Mas John dengan kalem.

Suasana! Itulah yang pertama mendapat imbas dari kehadiran seorang Herlina. Suasana yang semula kumuh, mendadak jadi bungah. Harapan yang semula loyo, mendadak jadi gairah. Sementara itu, Herlina, gadis remaja sederhana yang suka memakai baju warna merah itu tenang-tenang saja duduk di sudut. Dia tak menyadari kehadirannya menjadi “sesuatu”. Disuruh bawa gitar, dia mau saja. Disuruh nyapu lantai, dia juga mau. Disuruh menyalin syair lagu, dia juga tak menolak. Hanya ketika disuruh menyanyi keras-keras dia masih malu.

Sementara itu, di balik etalase-etalase mall, taman kota, time zone, kafe-kafe, diskotik, seribu satu macam kursus, di balik keping-keping VCD, di balik bilik-bilik rumah karaoke, beribu-ribu Herlina remaja juga hadir dan tampil dengan aroma bunga. Tetapi yang ini aromanya memabukkan. Dan di sana, Herlina-Herlina remaja tidak saja kehilangan waktu, tetapi dia juga kehilangan dirinya.

nanoq da kansas

5 komentar:

melati mengatakan...

memang, cinta materi telah demikian mewabah dan membelenggu banyak manusia di dunia ini, hingga harga diri pun tergadaikan...

Diana Yusuf mengatakan...

wakh siapa nih bli.....herlina?, wakh sudah lama buanget nih aku gag main di tempat bli, bagaimana kabarnya bli hari ini...semoga sehat dan tambah sukses ya

Unknown mengatakan...

ha..ha....kehadiran Herlina sekarang bisa dijumpai juga disini coba buka situs ini:
http://newsoul-sayangidirimu.blogspot.com

come n share mengatakan...

ck..ck...memang begitulah mas..herlina-herlina lainnya sudah banyak tersebar. Ini salah siapa sebenarnya mas. Orangtua juga kan sudah menasehati tapi...kog??

Dexter mengatakan...

Halo Bang, kenalkan dong aku dengan Herlina.

Posting Komentar