Gotong-Royong, Pertahanan Tradisi Setengah Hati?

Gotong-royong secara sederhana adalah berarti kerjasama. Begitu banyak sisi kehidupan yang berlandaskan gotong-royong. Bahkan sebuah bangsa yang akhirnya terbentuk, adalah hasil dari sebuah gotong-royong skala besar dalam aspek nan kompleks. Dalam sebuah negara, sebuah bangsa bersatu-padu bahu-membahu menyumbangkan jiwa dan raganya, pemikiran dan karyanya bahkan impiannya, menjadi sebuah tujuan bersama yang secara garis besar antara lain; mempertahankan kedaulatan wilayah, meningkatkan kesejahteraan bersama serta membentuk identitas kolektif. Gotong-royong dalam konsep sebuah negara-bangsa berujung pada menanggung semua resiko yang terjadi secara kolektif dan adil. Pendek kata, gotong-royong dalam konsep negara-bangsa adalah sebuah kebersamaan di dalam kesejahteraan maupun di dalam penderitaan secara berkeadilan.

FILOSOFI dan semangat gotong-royong inilah yang sejak dulu diusung rakyat Indonesia dalam berbangsa. Bahwa gotong-royong pada akhirnya adalah perilaku dan budaya hidup tradisional yang sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia. Keluhuran nilai-nilai gotong-royonglah yang telah mampu menyelamatkan negara-bangsa ini dari berbagai masalah, mulai dari melepaskan diri atas penjajahan sampai pada menemukan jalan keluar dari berbagai krisis di jaman modern. Negara-bangsa yang kini terwariskan kepada kita semua di Indonesia saat ini, adalah hasil dari sebuah gotong-royong tak henti-henti dari para pendiri bangsa dan seluruh lapisan warga bangsa sampai di akhir hayat mereka.

Pergeseran Perilaku
Ironisnya, ketika negara-bangsa Indonesia telah maju seperti sekarang ini, perilaku, filosofi serta semangat gotong-royong justru dibiarkan memudar. Setidaknya, gotong-royong kini berubah menjadi sebuah pengertian yang sangat sempit, hanya sampai pada kulit tetapi tidak berisi apa-apa. Dalam praktek keseharian, bangsa ini sekarang jelas-jelas hanyalah merupakan sebuah kumpulan dari warga yang sangat individualistis.

Lihatlah, kini semua seolah bisa diselesaikan dengan uang. Jadi yang terpenting sekarang adalah bagaimana tiap-tiap orang bisa mengumpulkan materi semampu-mampunya, lalu setiap persoalan diatasi dan diselesaikan dengan transaksi dan negosiasi yang berujung pada uang. Pembangunan berbagai sarana publik, pembangunan berbagai tempat ibadah, pemeliharaan lingkungan, semua diselesaikan dengan tawar-tawaran ongkos.

Saat ini betapa sulitnya mengumpulkan warga masyarakat untuk bekerja bakti membersihkan got misalnya. Setiap orang punya alasan tidak punya waktu karena mereka harus bekerja. Mereka jauh lebih merasa bahagia membayar iyuran untuk membeli alat pemotong rumput dan mengupah seseorang untuk membersihkan got daripada turun bersama-sama mengerjakan hal tersebut secara bergotong-royong. Semangat komunal yang melandasi prinsip dan perilaku gotong-royong terkalahkan oleh ideologi baru bahwa “waktu adalah uang”.

Pergeseran perilaku ini pun mendapat legitimasi dari berbagai lembaga kemasyarakatan yang ada maupun dari pemerintah sebagai pasilitator serta pengelola bangsa dengan segala aspek sosialnya. Dalam bidang keagamaan misalnya, lembaga agama yang ada di masyarakat selalu mengambil jalan pintas di dalam setiap usaha yang membutuhkan mobilisasi umat. Pembangunan pura, masjid serta rumah ibadah lainnya kini seratus persen menggunakan jasa para pemborong dan buruh. Sementara umat sebagai pemilik rumah ibadah tinggal menerima beres. Mereka mengabaikan prores bagaimana tempat tersebut diwujudkan. Proses, cukup dibeli dengan sejumlah iyuran dalam bentuk mata uang. Demikian juga dengan bangunan-bangunan fisik sarana publik lainnya. Bale banjar, bale tempek, pos kamling, semua diadakan dengan sejumlah iyuran tanpa disertai sentuhan keringat bersama secara fisik maupun emosi.

Di sisi lain, dengan alasan demi mempercepat pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah dengan sengaja atau pun seolah-olah tidak sengaja, semakin sering mengenyampingkan aspek gotong-royong di tengah kehidupan masyarakat. Salah satu contoh paling kasat mata adalah berbagai program dengan pola padat karya yang digelontorkan pemerintah. Dari sisi finansial, program ini memang membantu sesaat yaitu memberikan penghasilan kepada masyarakat terutama pada masa-masa krisis ekonomi. Namun efek psikologis yang ditimbulkan kemudian adalah masyarakat menjadi keenakan dan ketagihan mendapatkan upah dari “bergotong-royong”.

Berbagai program subsidi yang tidak diikuti dengan sosialisasi, pemahaman serta pendampingan yang baik dari pemerintah, juga sangat berpotensi memudarkan semangat gotong-royong dan cenderung membunuh partisipasi kolektif masyarakat atas berbagai persoalan yang ada. Kekeliruan atas filosofi subsidi biaya pendidikan di sekolah misalnya, dalam beberapa kasus terlihat jelas telah mengurangi pengertian masyarakat akan esensi dunia pendidikan. Proses pendidikan berikut aspek pendukungnya yang sejatinya merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, beralih menjadi seolah-olah sepenuhnya tugas pemerintah. Gara-gara biaya pendidikan yang disubsidi pemerintah, masyarakat menjadi acuh tak acuh bila sebuah sekolah tidak mampu membangun perpustakaan misalnya.

Setengah hati
Memang, secara teori pemerintah di negeri tercinta ini masih selalu berusaha mengobar-ngobarkan semangat gotong-royong. Elit-elit masyarakat di pedesaan pun masih selalu mengusung gotong-royong sebagai “kecap” pembangunan. Tetapi dalam faktanya, gotong-royong saat ini tak lebih dari sebuah kamuflase untuk mengumpan sumbangan demi sumbangan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun donatur di luar pemerintah.

Jika saja semangat dan esensi gotong-royong sungguh-sungguh masih ada, tentulah tidak mungkin terjadi kasus busung lapar di sebuah komunitas masyarakat yang sudah begini majunya. Tentulah tidak sampai terjadi wabah demam berdarah gara-gara lingkungan yang kotor. Tentulah tidak terjadi gedung sekolah roboh karena terlambat renovasi. Tentulah tidak terjadi kasus anak-anak, janda, jompo dan penyandang cacat terlantar. Tentulah tidak terjadi ketimpangan ekonomi yang akut di dalam sebuah negara, dan seterusnya.

Ya, suka atau tidak, diakui atau diingkari, gotong-royong memang sudah punah di negeri ini. Kalau pun ada, itu tak lebih dari sebuah kamupfase dan upaya kolektif setengah hati. Sayang memang!

dusun senja suatu hari
nanoq da kansas

5 komentar:

melati mengatakan...

aku sedih baca tulisan ini... tapi kenyataannya memang begitu, jadi bagaimana ya?????

Dexter mengatakan...

jadi mesti gimana Bang?

come n share mengatakan...

Mas,..it's hard to say..memang sudah jauh tertinggal sifat-sifat kebersamaan yang menjadi ciri khas negeri ini di awal-awal berdirinya. tidak tahu...apakah karena kehidupan yang semakin kompleks atau memang gotong royong itu "tidak perlu" lagi? Ataukah jika ciri2 ini dipertahankan tidak akan "menguntungkan" seseorang?

habbats mengatakan...

Terima Kasih sudah posting artikel yang bermanfaat. Semoga Sukses dan Silahkan Klik Tautan Dibawah Ini
MaduHabbatussaudaJual Minyak HabbatussaudaMinyak ZaitunProduk HabbatsProduk HerbalObat HerbalHabbatussauda Dosis TinggiHabbats.co.idHabbatsAozora Shop Onlinetoko onlineJual Baju AnakJual Baju BayiJual Baju DewasaJual Sepatu BayiJual Sepatu anak AnakJual Sepatu DewasaJual Perlengkapan BayiJual Perlengkapan Anak AnakJual Perlengkapan DewasaTupperwareTupperware MurahTupperware UpdateTupperware Bandung juaraJual TupperwareKatalog TupperwareJual Online TupperwareTupperware ResepTupperware katalog baruRaja Tupperware BandungCollection TupperwareMadu Anak SuperMadu Anak CerdasJual Madu Anak SuperPusat Jual Madu Anak SuperJual Madu SuperMadu Anak SuperJual Madu AnakToko Madu AnakAgen Madu Anak SuperDistributor Madu Anak Super

bandar bola mengatakan...

thanks gan sharing nya :)

Agen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola
Agen Bola

Posting Komentar