BOLA HITAM PUTIH YANG TERUS BERGULIR

AKU terima berita kematiannya tadi pagi. Seorang utusan datang, bicara dengan suara patah-patah dan mimik yang sedih sekali.

Dan ini menjadi berita luar biasa bagiku. Bagaimana tidak? Selama ini, selama kami menjalin persahabatan, tak pernah sekalipun dia menyinggung-nyinggung soal kematian. Di dalam setiap pertemuan dan kebersamaan selama ini, dia selalu nampak gagah, bersemangat dengan gagasan-gagasan besar serta berapi-api jika menghadapi setiap hal. Dia selalu meledak-ledak jika bicara. Dan seingatku, tak pernah dia mengajakku bicara soal maut, soal upacara-upacara perkabungan, tentang tanah perkuburan yang lengang, atau tangis sebuah keluarga yang sedang kehilangan salah seorang kecintaannya.

Tak pernah dia mengajakku menyinggung-nyinggung soal penyakit, soal umur yang kian menyusut atau soal tenaga yang kian hari kian menipis. Sekali lagi, dia adalah seorang yang luar biasa. Jadi berita ini pun mau tak mau menjadi berita yang luar biasa pula bagiku. Bahwa dia sekarang mati.

Jadi hari ini aku tidak ke kantor. Aku segera bersiap-siap untuk melayat. Aku menolak ketika istriku minta ikut. Padahal dia telah menyiapkan sekardus besar barang-barang yang hendak dibawanya ke sana.

Karena aku berpikir akan ikut mengantarnya ke kuburan, maka aku sengaja memilih pakaianku yang berwarna hitam. Kemeja hitam, jas hitam, celana hitam, topi hitam, kacamata hitam dan syal hitam aku lilitkan di leher. Tapi ketika memilih sepatu, aku tertegun. Ternyata tak satu pun sepatuku ada yang berwarna hitam. Putih semua. Hanya sepasang kaos kakiku ada yang berwarna hitam. Aku terhenyak. Tiba-tiba aku merasa nelangsa dan menyesali diriku tentang hal ini. Kenapa aku bisa tak memiliki sepatu hitam walau sepasang pun.
“Edan!” aku mengumpat kecil diriku sendiri.
“Sudahlah. Kita bisa menyuruh supir ke toko sepatu sekarang untuk membeli sepatu hitam,” hibur istriku. Aku diam.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak memakai sepatu saja. Aku juga tidak berangkat dengan mobil. Aku berjalan kaki dan bertelanjang kaki. Dan ini akhirnya juga melegakan perasaanku. Dengan bertelanjang kaki begini sekonyong-konyong aku dapat mengenang masa kecil kami. Mengenang masa muda kami, mengenang seluruh waktu ketika kami masih sama-sama hidup.

Aku mengenang masa-masa kami bersekolah dulu. Waktu itu kami tak pernah memakai sepatu. Belum ada sepatu yang dijual di toko-toko seperti sekarang ini. Dan toko-toko sepatu juga belum ada waktu itu.

Aku juga mengenang ketika dulu setiap sore kami bermain sepakbola di tanah kosong sebelah rumah seorang tetangga. Waktu itu kami pun tak pernah memakai sepatu. Di tengah-tengah sinar matahari sore yang cerah, di tengah-tengah sore yang diguyur hujan dan angin kencang, kami bermain sepakbola dengan kaki telanjang. Tak peduli dan tak pernah jera kami pada kaki kami yang habis terluka oleh batu-batu tajam dan potongan-potongan ranting-ranting pohon. Tak pernah kami jera oleh tusukan-tusukan duri atau pecahan-pecahan beling yang berserakan di tanah kosong itu. Bahkan pernah pula kesepuluh jari kaki kami mengelupas kukunya karena keasyikan bermain sepakbola itu. Dengan jari-jari kaki tak berkuku, kami terus menendang-nendang, menyepak, menangkap dan mengejar bola hitam putih yang bergulir. Sampai jari-jari kami berdarah semua, barulah kami berhenti, pulang dan tidur. Untunglah pada malam harinya ketika kami tertidur, jari-jari itu tumbuh kuku lagi.

Ya. Masa-masa seperti itu adalah saat-saat yang paling edan bagi kami. Masa-masa di mana sakit dan kegembiraan secara bersamaan benar-benar dapat kami rasakan tanpa harus menangis, tertawa terbahak-bahak, atau mengadu kepada siapa-siapa.

Sayangnya, setelah kami sama-sama besar kesukaan bermain sepakbola itu terpaksa tidak dapat terus kami pelihara. Sebenarnya bisa saja. Tapi kami agak malu melakukannya. Mula-mula alu pada istri, mertua dan para ipar, lalu malu pula pada anak-anak serta cucu-cucu kami. Dan karena beberapa hal, kami juga tidak bisa terlalu sering bertemu di sore hari.

Dan sekarang dia telah mati. Aku terima berita itu tadi pagi. Luar biasa. Nyaris aku tak mempercayainya. Masa orang seperti dia bisa mati?

Tiba di rumahnya, ternyata orang-orang sudah siap untuk berangkat ke kuburan. Peti kayu berwarna coklat tua yang membekap tubuh sahabatku itu telah mereka angkat. Orang-orang berbadan besar dan kekar menempatkan peti itu di atas pundaknya. Lalu mereka melangkah perlahan-lahan diapit barisan orang-orang yang menyanyikan lagu-lagu kematian. Di belakangnya wajah-wajah duka mengiringi dengan dengus napas yang dekat sekali dengan isak tertahan. Lelaki dan perempuan semua berjalan menunduk. Segala pemandangan yang ada di sepanjang pinggir jalan menuju kuburan itu seakan telah menjadi tabu untuk dinikmati. Hanya barisan anak-anak yang berjalan paling belakang, masih tetap dengan kebengalannya. Anak-anak itu berjalan biasa saja, saling colek dengan temannya, ada yang memekik dan menangis karena kena sikut teman sebelahnya, ada yang tertawa dan bersorak entah karena apa.

Dan karena aku sendiri agak bingung mau masuk rombongan yang mana, maka aku memilih sendirian saja. Berjalan di belakang gerombolan anak-anak yang kacau balau itu. O, tidak! Aku tidak sendirian. Sebab ternyata seorang gadis remaja juga berjalan di sebelahku. Gadis itu murung sekali. Aku mengira bahwa aku tak akan mungkin dapat menghiburnya. Maka aku diamkan saja dia. Dan karena aku tidak bisa bernyanyi seperti orang-orang di depan, aku lalu membaca puisi. Tapi ini pun kulakukan di dalam hati.

***
Hari telah sore ketika prosesi pemakaman itu selesai. Matahari condong ke barat dengan sinarnya yang lembut menyinari gundukan tanah dengan taburan bunga-bunga berwarna-warni itu. Angin berhembus sepoi membawa harum yang khas. Satu per satu orang-orang pulang, dan aku melakukan hal yang sama.

Aku baru saja membuka pakaian di kamar ketika istriku yang sedang membuat kopi di dapur mengatakan ada orang mengetuk pintu di depan. Aku buru-buryu menyongsongnya. Dan ketika daun pintu itu aku buka, aku takjub. Aku terpesona. Ternyata dia telah berdiri di depanku. Tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih bersih, dengan sorot mata yang masih berapi-api. Dia mengulurkan tangan padaku. Dan bagai tak pernah bertemu berabad-abad kami serentak berangkulan. Terharu dan gemas bercampur menjadi satu. Sampai-sampai kami tak bisa berkata-kata. Hatiku memang selalu benar: dia tak mungkin bisa mati!

Kemudian masih dengan berangkulan kami keluar rumah. Kami berlari meloncati pagar halaman di depan rumah. Sinar matahari tinggal sedikit lagi. Kami bergegas. Lalu kami bermain sepakbola lagi di tanah kosong di sebelah rumah seorang tetangga. Kami rayakan pertemuan kami. Kami menendang, menangkap, menyepak dan mengejar bola hitam putih yang terus bergulir.

Negara – Bali, suatu senja
NANOQ DA KANSAS

7 komentar:

Kika mengatakan...

Bang Nanoq, kenapa tiba-tiba bicara kematian?? Aku belum sampai Negara lagi Bang. Meski aku tahu semua itu memang harus bergulir.

Admin mengatakan...

yah... hudup dan mati suatu kepastian yg akan kita lalui..... jadi jgn hanya berpikir tentang kehidupan saja... persiapkanlah bekal diri untuk mnuju kehidupan yg abadi..

melati mengatakan...

bola itu masih terus bergulir Bli... dengan lebih banyak lagi yang memainkannya...
ah, jadi sedih nih...
Selamat berakhir pekan...

JO mengatakan...

kangen berkunjung kesini
apa kabar beli?

sandra palupi mengatakan...

salam kenal, salam persahabatan.
Betapa kisah sarat makna, mengajakku untuk ikut mencari...juga belajar menghargai kenangan untuk memparsiapkan sebuah akhir dari akhir kehidupan. (bahkan sanggup membuat sseorang sahabat menangis dilanda rasa kuatir).
akhirnya, salam hormatku padamu!

habbats mengatakan...

Terima Kasih sudah posting artikel yang bermanfaat. Semoga Sukses dan Silahkan Klik Tautan Dibawah Ini
MaduHabbatussaudaJual Minyak HabbatussaudaMinyak ZaitunProduk HabbatsProduk HerbalObat HerbalHabbatussauda Dosis TinggiHabbats.co.idHabbatsAozora Shop Onlinetoko onlineJual Baju AnakJual Baju BayiJual Baju DewasaJual Sepatu BayiJual Sepatu anak AnakJual Sepatu DewasaJual Perlengkapan BayiJual Perlengkapan Anak AnakJual Perlengkapan DewasaTupperwareTupperware MurahTupperware UpdateTupperware Bandung juaraJual TupperwareKatalog TupperwareJual Online TupperwareTupperware ResepTupperware katalog baruRaja Tupperware BandungCollection TupperwareMadu Anak SuperMadu Anak CerdasJual Madu Anak SuperPusat Jual Madu Anak SuperJual Madu SuperMadu Anak SuperJual Madu AnakToko Madu AnakAgen Madu Anak SuperDistributor Madu Anak Super

bandar bola mengatakan...

Thanks atas sharing nya :)

Agen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola
Agen Bola

Posting Komentar