"Bila Ibed (Bukan) Orang Bali"

Di antara segelintir anak muda Bali yang mau tega kepada dirinya sendiri untuk bekerja keras belajar menuliskan buah pikirnya ke dalam entah itu catatan-catatan lepas, esai, bahkan puisi dan cerita pendek, adalah Ibed Surgana Yuga. Ibed yang keturunan keluarga brahmana di Jembrana, Bali, sejak kelas dua SMA mulai “terganggu pikirannya” atas berbagai fenomena yang terjadi di sekitarnya. Maka sebagaimana proses kreatif yang umum terjadi pada anak-anak muda berbakat, mulai saat itu pulalah Ibed keluar dari kebiasaan – yang oleh banyak orang juga dengan ngawur diistilahkan sebagai “tradisi” – yang berlaku di sekitarnya, yakni kebiasaan bertutur (agar kedengaran sedikit agak sopan daripada menyebutnya kebiasaan bergunjing). Ya, di usia belia itu, Ibed mulai belajar tidak hanya sekedar bertutur, tetapi menuliskan pikiran, perasaan, gagasan, unek-unek bahkan impian-impiannya, ke dalam catatan-catatan kecil di bilik tas sekolahnya.

Seperti juga umumnya yang terjadi pada anak-anak berbakat lainnya, ketika tamat SMA dan kemudian berkesempatan memilih perguruan tinggi, Ibed tidak sertamerta mencari jalan mudah untuk “menyelamatkan” masa depannya, untuk menyelamatkan dirinya kelak di kemudian hari. Keputusan yang diambilnya, bukan saja tidak masuk akal dari konteks kecenderungan teman-teman sekolahnya di kampung halaman, tetapi terutama sangat absurd di mata keluarganya. Ibed, memilih kuliah di ISI Yogyakarta, Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Teater.

Di Yogyakartalah kemudian Ibed merasakan “baru bisa” memandang Bali, kampung halamannya. Di Yogyakarta pula kemudian Ibed harus jujur kepada terutama dirinya sendiri, bahwa ternyata dia “bukan orang Bali”. Setidaknya itu anggapan teman-temannya di Jawa, karena Ibed ternyata tidak bisa ngigel (menari), atau, matanya tidak bisa nyeledet seperti penari-penari Bali itu. Dan di Yogyakarta Ibed harus iklas menyimpan wingit ke-brahmana¬-annya di dalam lemari di kamar kos, karena ternyata hanya dengan menjadi “manusia biasa”-lah ………

Menyadari dirinya ternyata “bukan orang Bali”, bisa jadi membuatnya bisa lebih jujur dan iklas atas Bali itu sendiri, dalam setiap catatan yang ditulisnya. Kalau kemudian catatan-catatan tersebut dikirimkannya ke kampung halaman, sebagai kolom ke sebuah media mingguan yang kebetulan terbit di kampungnya, sikap tersebut rasanya sudah pada tempatnya mendapat apresiasi. Setidaknya, Ibed telah bersikap dan berlaku adil terhadap kampungnya, terhadap Bali dan dirinya. Karena apapun isi catatan yang sengaja dibuka untuk siapa saja termasuk orang-orang di kampungnya itu, adalah sebuah kerendahan hati bagi penulisnya untuk disikapi sebagaimana adanya oleh siapapun juga.

Seluruh catatan yang terangkum dalam buku ini telah dimuat dalam kolom “Bali Diaspora” Tabloid Mingguan Independen News yang terbit di Jembrana, kampung halaman penulisnya. Sekiranya catatan-catatan kecil di buku ini semakin memberi kita keyakinan untuk lebih mengerti Bali, untuk lebih mencintai Bali apa adanya, sejujur dan seiklas penulisnya!


dusun senja suatu senja
nanoq da kansas

5 komentar:

Kika mengatakan...

Hemm

sawali tuhusetya mengatakan...

sosok semacam ibed agaknya tergolong sosok yang layak untuk diteladani sikap kreatifnya, mas nano. bisa terus bertahan dengan idealisme di tengah gerusan budaya pragmatis.

mocca_chi mengatakan...

hmm... saya juga orang bali, tapi ga bisa nari ataupun nyeledet, itupun saya masih di bali. tp setidaknya masih cinta bali. itu yg penting kan ;)

salam kenal, keknya pernah mampir dlu disini ^ ^

Rini Intama mengatakan...

hai aku duduk lama terdiam dan terus membaca disini... tulisanmu membuatku merenunginya

bandar bola mengatakan...

Agen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola
Agen Bola

Posting Komentar