Dari WENDRA WIJAYA: "Dusun Senja, blog tempat belajar."
AWARD 2009
award dari CERITA SENJA: "Nanoq dengan pemikiran yang kadang, atau beberapa cocok dengan saya."
Award dari BALI DREAM HOME: "Nanoq da Kansas an independent writer who always has an eye and heart for a social happening around him and a very productive - constructive writer from a corner of Bali. Recently he has create another blog in English wich is called silent of twilight those 2 blog and worth a visit."
Dua Award dari Reza Fauzi
SUATU HARI
nyanyi dengan anak-anak SMP
baca puisi dengan anak SMP
aku dan Bayu sehabis nonton teater, kepergok teman lalu kami difoto. hhh... kami terlihat jelek banget...
dramaku berjudul RINGSEK dimainkan oleh Agus Beniq dan aku sendiri
nonton monolognya Ibed yang dimainkan Rendra ISI Jogja
nonton monolognya Andika
KENANGAN
bersama Putu Wijaya
tahun 1998: ngobrol dengan mas willy (rendra) dan mbak ken zuraida, mereka habis nonton pementasan teaterku
Aku bersama sutradara Putu Satria Kusuma, penyair Warih Wisatsana, aktor Whani Darmawan dan penyair Tan Lioe Ie
Sudah begitu banyaknya film dakwah (Islam) dan mungkin film-film sejenis dari agama lain yang dibuat di Indonesia. Semuanya baik sekaligus mengisyaratkan sebenarnya para sineas maupun pesinetron Indonesia sangat berkomitmen terhadap agama dan spiritualitas bangsa Indonesia.
Tetapi hebatnya, rata-rata film-film dakwah hanya menjadi semacam alat pembenar atas penafsiran-penafsiran agama tertentu yang sering pula sangat subyektif. Film-film dan sinetron dakwah yang dibuat orang Indonesia, acapkali meninggalkan kemanusiaan, semata-mata hanya bicara masalah langit, surga, neraka.
Bagi saya, inilah yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara yang kurang memiliki penghargaan kepada humanisme, universalitas, keberagaman, dan cinta kasih. Berapa pun banyaknya film dakwah yang sudah dibuat, sejauh ini belum menunjukkan kemampuan yang baik untuk menyentuh dan menghidupkan kesadaran humanisme dan cinta sesama masyarakat Indonesia. Yang ditekankan selalu hanya kebenaran mutlak. Padahal sehebat-hebatnya manusia tidak mungkin akan paham sepenuhnya dengan yang mutlak.
Pada tataran omongan elit (termasuk elit seniman dan sineas tentunya), kita selalu mendengarkan jargon-jargon kemanusiaan yang disuarakan dengan sangat teaterikal di hadapan publik. Tetapi sesudahnya, ketika masing-masing pulang ke rumah, toh semangat humanisme tersebut dibunuh begitu gampang dengan petuah-petuah fanatik yang penuh kemunafikan. Sampai saat ini selalu terdengar larangan-larangan: “jangan pacaran atau menikah dengan kafir”, “jangan beli produk kafir”, “jangan makan masakan kafir”, “jangan beri kesempatan untuk kaum kafir”, “kafir halal dibunuh” dan seterusnya. Kefanatilan semacam ini sama sekali tidak berdasarkan penjelasan yang manusiawi, tetapi selalu berdasarkan tafsir-tafsir yang diyakini sebagai kebenaran mutlak untuk jalan masuk surga.
Sejauh ini, saya masih melihat film-film nondakwah (apalagi yang dibuat bukan oleh orang Indonesia – bangsa saya sendiri) justru jauh lebih manusiawi dan membumi. Mereka tidak berusaha menyodor-nyodorkan kebenaran mutlak, tetapi memberi kesempatan yang baik kepada kita semua (penonton) untuk merenung dan memetik nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan. Tidak jarang kemudian, setelah menonton film-film nondakwah tersebut banyak di antara kita yang spontan tergerak hati dan perilakunya untuk mengambil bagian dalam upaya-upaya pembangunan kemanusaiaan, humanisme, serta kehidupan secara luas.
Harapan saya, film “Sang Pencerah” ini (karena saya belum menonton, entah kapan bisa menontonnya karena saya tinggal di pelosok terpencil), pencapaiannya tidaklah terlalu sama dengan film-film dakwah lain yang sudah pernah ada. Semoga!
5 komentar:
Sudah begitu banyaknya film dakwah (Islam) dan mungkin film-film sejenis dari agama lain yang dibuat di Indonesia. Semuanya baik sekaligus mengisyaratkan sebenarnya para sineas maupun pesinetron Indonesia sangat berkomitmen terhadap agama dan spiritualitas bangsa Indonesia.
Tetapi hebatnya, rata-rata film-film dakwah hanya menjadi semacam alat pembenar atas penafsiran-penafsiran agama tertentu yang sering pula sangat subyektif. Film-film dan sinetron dakwah yang dibuat orang Indonesia, acapkali meninggalkan kemanusiaan, semata-mata hanya bicara masalah langit, surga, neraka.
Bagi saya, inilah yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara yang kurang memiliki penghargaan kepada humanisme, universalitas, keberagaman, dan cinta kasih. Berapa pun banyaknya film dakwah yang sudah dibuat, sejauh ini belum menunjukkan kemampuan yang baik untuk menyentuh dan menghidupkan kesadaran humanisme dan cinta sesama masyarakat Indonesia. Yang ditekankan selalu hanya kebenaran mutlak. Padahal sehebat-hebatnya manusia tidak mungkin akan paham sepenuhnya dengan yang mutlak.
Pada tataran omongan elit (termasuk elit seniman dan sineas tentunya), kita selalu mendengarkan jargon-jargon kemanusiaan yang disuarakan dengan sangat teaterikal di hadapan publik. Tetapi sesudahnya, ketika masing-masing pulang ke rumah, toh semangat humanisme tersebut dibunuh begitu gampang dengan petuah-petuah fanatik yang penuh kemunafikan. Sampai saat ini selalu terdengar larangan-larangan: “jangan pacaran atau menikah dengan kafir”, “jangan beli produk kafir”, “jangan makan masakan kafir”, “jangan beri kesempatan untuk kaum kafir”, “kafir halal dibunuh” dan seterusnya. Kefanatilan semacam ini sama sekali tidak berdasarkan penjelasan yang manusiawi, tetapi selalu berdasarkan tafsir-tafsir yang diyakini sebagai kebenaran mutlak untuk jalan masuk surga.
Sejauh ini, saya masih melihat film-film nondakwah (apalagi yang dibuat bukan oleh orang Indonesia – bangsa saya sendiri) justru jauh lebih manusiawi dan membumi. Mereka tidak berusaha menyodor-nyodorkan kebenaran mutlak, tetapi memberi kesempatan yang baik kepada kita semua (penonton) untuk merenung dan memetik nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan. Tidak jarang kemudian, setelah menonton film-film nondakwah tersebut banyak di antara kita yang spontan tergerak hati dan perilakunya untuk mengambil bagian dalam upaya-upaya pembangunan kemanusaiaan, humanisme, serta kehidupan secara luas.
Harapan saya, film “Sang Pencerah” ini (karena saya belum menonton, entah kapan bisa menontonnya karena saya tinggal di pelosok terpencil), pencapaiannya tidaklah terlalu sama dengan film-film dakwah lain yang sudah pernah ada. Semoga!
saya bingung dengan harapan anda...
saya juga bingung dengan harapan saya :)
hi... here i'm..
support you !
Terima Kasih sudah posting artikel yang bermanfaat. Semoga Sukses dan Silahkan Klik Tautan Dibawah Ini
MaduHabbatussaudaJual Minyak HabbatussaudaMinyak ZaitunProduk HabbatsProduk HerbalObat HerbalHabbatussauda Dosis TinggiHabbats.co.idHabbatsAozora Shop Onlinetoko onlineJual Baju AnakJual Baju BayiJual Baju DewasaJual Sepatu BayiJual Sepatu anak AnakJual Sepatu DewasaJual Perlengkapan BayiJual Perlengkapan Anak AnakJual Perlengkapan DewasaTupperwareTupperware MurahTupperware UpdateTupperware Bandung juaraJual TupperwareKatalog TupperwareJual Online TupperwareTupperware ResepTupperware katalog baruRaja Tupperware BandungCollection TupperwareMadu Anak SuperMadu Anak CerdasJual Madu Anak SuperPusat Jual Madu Anak SuperJual Madu SuperMadu Anak SuperJual Madu AnakToko Madu AnakAgen Madu Anak SuperDistributor Madu Anak Super
Posting Komentar