Hari sudah memasuki petang. Dengan menembus gerimis yang turun sejak siang, Komang Sekar memasuki halaman rumah megah di pinggir kota itu. Agak gemetar tangannya menekan bel yang terpasang di bagian kanan kosen pintu berukir itu. Bukan gemetar karena seringai seekor doberman hitam kecoklatan yang mengintip dari dalam kandang di pojok halaman rumah mewah itu, tetapi pikiran Komang Sekar memang sedang sangat kalut. Suaminya yang pengojek sekarat di rumah sakit karena kecelakaan.
Pintu dibuka oleh seorang pembantu rumah tangga yang tampak tertekan. “Tunggu sebentar,” demikian pembantu itu tanpa mempersilahkan Komang Sekar untuk masuk atau duduk. Pintu kembali ditutup. Komang Sekar, ibu dua anak itu, kembali termangu menunggu.
Sekitar lima menit kemudian, pembantu tadi kembali membukakan pintu. “Disuruh masuk sama ibu,” ujarnya. Komang Sekar lalu mengikutinya memasuki rumah yang selalu tampak sepi itu. Di teras samping dekat bangunan menyerupai gudang, Komang Sekar kembali menunggu. Sambil menunggu, ia mengambil sesuatu dari balik kutangnya. Sesuatu yang dibungkus sapu tangan.
Perempuan yang disebut “ibu” oleh pembantu tadi keluar. “Besok-besok kalau ke sini jangan salikaon (petang) begini. Jam-jam begini ibu sangat capek. Ada perlu apa?” tanya ibu tengah baya berperawakan gemuk itu. Kepalanya masih terlilit handuk. Nampaknya ia baru selesai mandi.
“Maaf, bu. Saya perlu bantuan. Suami saya kecelakaan dan sekarang di rumah sakit. Saya mau pinjam uang satu juta saja,” jawab Komang Sekar dengan perasaan serba salah.
“Aduh, sudah salikaon begini mana boleh ibu mengeluarkan uang? Besok pagi saja ya?”
“Maaf, bu. Saya perlu sekali. Saya harus membayar obat sekarang. Tolonglah saya,” Komang Sekar menghiba.
“Tidak baik mengeluarkan uang malam-malam. Tapi untuk menolong, ya, tidak apa-apalah. Kamu punya jaminan apa?”
“Ini,” Komang Sekar membuka dan menyodorkan bungkusan sapu tangan tadi. Seuntai kalung dan sebuah gelang emas di dalamnya. “Ini semua lima gram, bu.”
“Wah, barang segini mana bisa dapat satu juta? Kamu ada-ada saja,” si ibu gemuk menimang-nimang kalung dan gelang itu sambil menyipitkan mata.
“Berapa saya bisa pinjam?” Komang Sekar putus asa.
“Lima ratus saja ya,” si ibu gemuk berpura-pura mengembalikan bungkusan itu ke tangan Komang Sekar. Komang Sekar kaget.
“Aduh, bu, tolonglah saya. Delapan ratus saja juga boleh. Saya harus menebus obat ke apotik malam ini juga,” Komag Sekar memelas.
“Ya sudah. Ibu kasi enam ratus. Soalnya ini sudah malam. Ibu seharusnya tidak boleh mengeluarkan uang, tapi karena harus menolong kamu, ya sudahlah,” si ibu gemuk lalu masuk rumah. Komang Sekar kembali menunggu. Air matanya menggenang di pelupuk.
Si ibu gemuk keluar lagi. “Ini enam ratus. Bunganya sepuluh persen sebulan. Itu sudah biasa. Kalau kamu terlambat bayar, bunganya langsung menjadi pokok. Enam bulan barang tidak ditebus, itu berarti hilang. Tolong tandatangani kwitansi ini dulu.”
“Tujuh ratus lima puluh saja tidak bisa, bu?” Komang Sekar masih mencoba menghiba.
“Tidak bisa. Kalau kamu tidak mau, ya tidak usah. Cari di tempat lain saja!”
“Baik, bu. Saya terima,” Komang Sekar lalu menandatangani kwitansi. Si Ibu gemuk menyodorkan setumpuk uang pacahan sepuluh ribu, dua puluh ribu dan dua lembar seratus ribuan.
“Ingat, jangan terlambat bayar bunganya bia kamu tidak kualahan nanti,” si ibu gemuk menasihati.
“Terima kasih, bu,” Komang Sekar pamit. Kali ini air matanya benar-benar tumpah.
Di depan pintu gerbang rumah megah itu Komang Sekar nyaris bertabrakan dengan seorang bapak yang baru datang membawa sebuah televisi 21 inci. Rupanya lelaki itu juga sedang kepepet!
Demikianlah sepenggal kisah nyata seputar perilaku rentenir yang ada di dalam kehidupan masyarakat kebanyakan. Memang, teramat ganjil rasanya di jaman serba maju seperti sekarang ini kita masih bicara soal rentenir, ijon, lintah darat, dan entah apa lagi istilahnya. Terutama tentu saja karena saat ini dalam setiap wacana, kita senantiasa mengedepankan hak azasi manusia, rasa keadilan, kesejahteraan bersama, pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan warga miskin, serta berbagai istilah lain yang secara artikulasi sangatlah mulia dan jauh dari kesan atau pengertian penindasan.
Tetapi fakta menyodorkan kepada kita, betapa praktek ijon dan keberadaan para lintah darat itu demikian menggurita di sekitar kita. Keberadaan mereka bahkan begitu kuat mencengkeram di tengah kehidupan warga masyarakat kecil yang tak berdaya menghadapi berbagai situasi krisis. Para rentenir yang secara materi punya kemampuan mumpuni, mempertahankan hegemoninya dengan memanfaatkan ketakberdayaan orang lain.
Ironisnya, tidak sedikit para pelaku lintah darat ini adalah orang-orang yang secara sosial merupakan warga kelas menengah ke atas yang sepatutnya menjadi panutan masyarakat. Tidak sedikit dari mereka adalah sosok-sosok yang dikenal sebagai pegawai negeri sipil (PNS), guru-guru, serta istri pejabat. Dalam hal ini, tentu mereka adalah orang-orang yang memiliki kadar intelektualitas yang baik, yang seharusnya memiliki kepekaan sosial untuk membantu orang lain mengatasi masalah tanpa harus memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mencari keuntungan diri sendiri.
Tetapi begitulah situasi dan kondisi yang sekarang berkembang di dalam relasi sosial masyarakat negeri ramah tamah ini. Hubungan antarwarga mampu dengan yang kurang mampu telah menjelma menjadi praktek transaksional antara masalah dengan sebuah solusi. Dan yang membuat miris, setiap sebuah solusi yang ditawarkan oleh mereka yang lebih mampu selalu jauh lebih mahal daripada masalah “kecil” yang dihadapi oleh warga yang sedang tak berdaya. Pendek kata, relasi sosial yang kini berkembang di tengah kehidupan masyarakat yang dulu terkenal kesantunannya ini adalah: yang kepepet, hisap saja darahnya!
nanoq da kansas
7 komentar:
Bli, makasih ucapan idul fitrinya, saya juga mohon maaf lahir batin...
Betul juga ya bli... masalah begini sudah terlalu membelit masyarakat kita. Ada koperasi, pengurusnya korupsi. Kapan ya kita bisa tiru Grameen Bank-nya Mohammad Yunus? Tapi kayaknya seperti apapun program digulirkan, selama MENTALnya belum berubah, saya kira akan sama saja...
@ Melati: Betul Mel, masalah di bangsa kita adalah pada "mental"-nya. Ini akibat dari terlalu lamanya masyarakat (rakyat) mendapat pelajaran dan contoh-contoh tidak baik dari para pemegang kuasa dan kebijakan negeri.
Memang akhirnya semua harus dirubah mulai dari diri dan keluarga saja. Selebihnya kita tak bisa berbuat apa-apa...
Salam kenal Bli, Mau tanya nih Komunitas jurnaslistik di Jembrana ada ga? klo ada alamatnya di mana?
memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan inilah yang di manfaatkan orang2 yang tidak bertanggung jawab yang seharusnya menjadi panutan masyarakat, begitulah lintah darat
tetap rakyat kecil yang jadi korban :(
mulai dari diri kita sendiri aja untuk merubah mentalnya...
saya share game yg bgs nih
HON Indonesia
Forum Gamers
Gta Indonesia
Terima Kasih sudah posting artikel yang bermanfaat. Semoga Sukses dan Silahkan Klik Tautan Dibawah Ini
MaduHabbatussaudaJual Minyak HabbatussaudaMinyak ZaitunProduk HabbatsProduk HerbalObat HerbalHabbatussauda Dosis TinggiHabbats.co.idHabbatsAozora Shop Onlinetoko onlineJual Baju AnakJual Baju BayiJual Baju DewasaJual Sepatu BayiJual Sepatu anak AnakJual Sepatu DewasaJual Perlengkapan BayiJual Perlengkapan Anak AnakJual Perlengkapan DewasaTupperwareTupperware MurahTupperware UpdateTupperware Bandung juaraJual TupperwareKatalog TupperwareJual Online TupperwareTupperware ResepTupperware katalog baruRaja Tupperware BandungCollection TupperwareMadu Anak SuperMadu Anak CerdasJual Madu Anak SuperPusat Jual Madu Anak SuperJual Madu SuperMadu Anak SuperJual Madu AnakToko Madu AnakAgen Madu Anak SuperDistributor Madu Anak Super
Posting Komentar