Bebotoh kok Dipolitiki?

Di Bali, judi adalah bagian dari ”kebiasaan”. Tidak seperti daerah lain di Indonesia bahwa judi semata-mata dipandang dan diperlakukan sebagai sebuah perbuatan haram dan kriminal, judi di Bali adalah sebuah jalan hidup yang dilakoni oleh sebagian besar kaum lelaki dewasa dan tidak sedikit yang dengan sembrono berani mengatakannya sebagai tradisi. Itulah sebabnya, terutama judi sabung ayam alias tajen di Bali, senantiasa punya daya tawar pada banyak sisi kehidupan sosial masyarakat.

Dulu di suatu masa, sudah bukan rahasia bahwa judi tajen juga dijadikan sebagai lahan penggalian dana oleh masyarakat di Bali. Tidak sedikit pembangunan bale banjar, bale subak, bale kulkul sampai pembelian seperangkat gamelan gong didanai melalui tajen. Para tokoh desa, tokoh banjar sampai tokoh adat menghimpun para bebotoh, merangkul dan memberdayakannya untuk diajakserta membangun banjar atau desa. Inilah sebabnya, dulu, hampir seluruh desa di Bali memiliki bangunan yang bernama wantilan desa. Di wantilan desa inilah tempatnya tajen digelar. Para penjudi dan warga umum yang ingin ikut metajen ataupun yang hanya datang sekedar menonton, dikenai karcis masuk. Nah, dari penjualan karcis ditambah dengan cuk yang dikumpulkan para bebotoh inilah kemudian disumbangkan sepenuhnya kepada desa atau banjar untuk membangun.

Jaman boleh berubah dari, politik boleh berubah, undang-undang boleh berubah. Semula, tajen maupun judi-judi lainnya bebas untuk hidup. Tetapi dengan alasan demi kabaikan umat, bangsa dan negara, tajen serta segala bentuk judi lainnya dilarang oleh undang-undang. Kalau masih ada, diberangus! Para penjudi atau bebotoh yang membangkang, ditangkap dan dihukum!

Tetapi khususnya di Bali, dengan berbagai siasat, judi, sekali lagi setidaknya tajen, toh tetap punya daya tawar. Untuk suatu alasan tertentu yang katanya ”prinsip”, tajen masih boleh. Adat masih punya peluang untuk sesekali menyelenggarakan tajen kecil-kecilan. Dalam konteks ini, para bebotoh kerap memakai ”politik adat”. Dan kalau sudah bicara soal adat, siapa yang berani melarang? Bisa ribut jadinya. Dan untuk sekedar diingat, hal inilah yang pernah ditentang serta dilawan oleh Kapolda Bali saat itu, Pak Mangku Pastika. Pak Mangku menentang dan melawan dengan keras alasan, argumen maupun politik para bebotoh di Bali. Pokoknya, tajen dilarang! (Pakai tanda seru). Yang melanggar: tangkap, hukum! Judi kocok (dadu) yang taruhannya cepek saja diberangus dan bandarnya dikerangkeng tiga bulan!

Jaman berubah lagi. Kini adalah jaman di mana Bali akan memilih pemimpin (gubernur) yang baru. Tanpa dinyana dan diduga, ternyata yang mencalonkan diri jadi gubernur banyak sekali. Walaupun kemudian setelah dilakukan penjaringan oleh partai-partai serta lembaga-lembaga lainnya yang terkait, para calon gubernur yang nantinya boleh berebut suara dalam pilkada paling-paling tersisa beberapa orang saja.

Kalau bicara soal perebutan suara, apalagi di dalam rangka yang bernama ”pil, pil dan pil” (maksudya: pilbup, pilgub, pilpres dsb), nah, inilah masalahnya sekarang. Politik punya taktik, siasat dan segalanya. Bahkan kalau kepepet, undang-undang, peraturan bahkan komitmen bisa diserempet dulu. Urusan nanti belakangan saja.

Menjelang Pilgub Bali mendatang ini pun serempet-serempetan atas semua itu konon sudah mulai. Ada kabar angin, kabar burung dan kabar kabur yang mengatakan, kini para bebotoh sudah mulai dirangkul oleh para kandidat calon gubernur. Para bebotoh dirangkul untuk menggalang suara, dengan iming-iming nanti nasib mereka akan diperjuangkan. Paling tidak, kalau para bebotoh mau bersatu menyokong suara, maka tajen akan ”ditoleransi”. Gampang, semua nanti bisa diatur, yang penting kumpulkan suara dulu biar menang!

Seorang ibu nyeletuk: ”Tak ada yang aneh! Dalam politik semua bisa terjadi! Cuma saja untuk urusan galang-menggalang bebotoh ini gimana ya? Apakah para politikus lupa bahwa kaum perempuan di Bali tidak ada yang suka tajen atau judi? Setidaknya, para ibu di Bali jelas lebih hebat untuk meyakinkan para bapak dan para suami bahwa janji-janji politik yang akan memperjuangkan nasib bebotoh itu sama dengan berharap menepuk pinggul bidadari di awang-awang. Ini jauh lebih buruk daripada menepuk pinggul istri di rumah saja. Menepuk pinggul istri adalah realistis, dan setelah itu terserah anda.... Pokoknya realistis sajalah!

Maret 2008

1 komentar:

Posting Komentar