Belajar Dari Fakta

Banyak orang yang merasa akan bisa menjadi pemimpin. Tidak sedikit orang yang mengaku akan mampu jadi pemimpin. Tetapi berapa banyakkah orang yang mengerti untuk memimpin?

Pengalaman adalah fakta. Dan fakta adalah (seharusnya) pelajaran yang mesti kita camkan. Bahwa kita telah belajar dari pengalaman dan sejarah yang telah menyodorkan pemimpin demi pemimpin yang silih berganti mendapatkan daulat rakyat. Entah berapa pemimpin sudah yang kita percayai untuk mengatur, mengelola serta bahkan memutus nasib kita sebagai rakyat. Dan kita, semua, memang sudah belajar dari semua itu. Bahwa sekarang kita sudah mengerti bagaimana rasanya dipimpin oleh orang yang hanya merasa bisa jadi pemimpin, bagaimana rasanya dipimpin oleh orang yang ternyata kekuasaannya hanya dipergunakan buat cari keuntungan, bagaimana rasanya dipimpin oleh orang yang hanya sekedar ingin jadi pemimpin, dan bagaimana rasanya dipimpin oleh orang yang setidaknya mengerti dengan keadaan dan perasaan kita yang dipimpinnya.

Seorang pemimpin yang mengerti dengan keadaan dan perasaan rakyat yang dipimpinnya, itu sama dengan seorang pemimpin yang adil. Dan untuk membuat keadilan sejatinya tidaklah sulit. Cukup dengan bersetia kepada petuah lama dari nenek moyang kita, yakni tepa selira. Petuah ini bisa berarti meng-orang-kan orang lain, atau juga membawa keadaan, persoalan serta perasaan orang lain ke dalam diri kita. Melihat orang lain sakit, maka kita akan bertanya kepada diri sendiri bagaimana kalau yang sakit itu kita. Melihat orang lain miskin maka kita bertanya kepada diri sendiri bagaimana kalau yang miskin itu kita. Melihat orang lain tak mampu bayar sekolah maka kita bertanya bagaimana kalau yang tidak mampu bayar sekolah itu kita. Begitu seterusnya.

Dengan merasakan sesungguh-sungguhnya keadaan orang lain, terutama rakyat yang kita pimpin – jika kita menjadi pemimpin, sesunguhnya jalan paling mudah untuk berbuat adil. Tidak perlu janji-janji atau rencana besar. Tidak perlu mati-matian membuat kebijakan, program, proyek atau tindakan-tindakan spektakuler yang malah tidak menyentuh persoalan esensi rakyat, yang malah tidak membumi alias di awang-awang. Sebab segala sesuatu yang spektakuler itu hanyalah tugas para pesulap atau tugas para artis agar bisa menghibur penonton. Tetapi seorang pemimpin tentulah sama sekali tidak sama dengan pesulap atau artis, dan rakyat tentulah sama sekali bukan penonton sirkus atau konser yang hanya ingin hiburan!

Pemimpin yang adil, adalah pemimpin yang tahu kapan rakyat harus disenangkan. Menyenangkan rakyat bukanlah hal yang rumit. Menyenangkan rakyat cukup dengan memahami persoalan mereka, lantas kita turun serta berada di tengah-tengah mereka untuk bersama-sama mencari jalan keluar. Menyenangkan rakyat cukup dengan bersikap komunikatif dengan rakyat, alias tidak otoriter atau tidak egois. Yang boleh egois adalah dan hanyalah rakyat. Karena di saat mereka memberikan mandat kepada seseorang untuk menjadi pemimpinnya, di saat itu pula sejatinya seorang pemimpin telah menerima seluruh persoalan kehidupan rakyat. Dan tidak ada persoalan yang tidak membuat siapapun untuk tidak egois. Setiap persoalan pasti selalu minta didahulukan.

Persoalan kehidupan adalah kompleksitas kehidupan itu sendiri. Tidak mengenal dan tidak menerima alasan lelah. Kalau seorang pemimpin berkata lelah, maka ia adalah penguasa. Penguasa selalu lelah karena terlalu banyak maunya. Dan penguasa biasanya selalu dikelilingi oleh para penjilat yang hanya berusaha membuat senang sang penguasa. Rakyat miskin dilaporkan sudah tidak miskin. Rakyat sakit dilaporkan sehat. Rakyat tak mampu sekolah dikatakan bukan masalah. Seorang penguasa sudah pasti tidak mau diganggu oleh persoalan rakyat, karena seorang penguasa maunya hanya senang melulu. Seorang penguasa selalu menuntut dilayani, bukan melayani rakyat yang dipimpinnya. Dan agar tak diganggu oleh persoalan rakyat, maka seorang penguasa akan selalu mencari jalan pintas.

Jalan pintas milik seorang penguasa cenderung menghalalkan segala cara dan berlimpah janji. Rakyat dibuatnya terlena dalam mimpi. Dan kalau sudah kepepet, maka jalan yang ditempuh seorang penguasa adalah dengan membungkam rakyat. Rakyat diancam dengan berbagai peraturan yang tak masuk akal. Tidak ada kompromi, segala jalan keluar ditempuh dengan cara-cara preman!

Ya, banyak orang yang merasa bisa menjadi pemimpin. Tidak sedikit orang yang mengaku mampu jadi pemimpin. Bahkan ada orang yang baru berjasa sekali saja, sudah merasa layak jadi pemimpin.

Tetapi berapa banyakkah orang yang mengerti untuk memimpin? Dan mumpung kita, rakyat Bali, sebentar lagi akan memilih pemimpin, seyogyanyalah sejak sekarang kita belajar lebih keras dari sejarah sekaligus belajar dari fakta yang ada hari ini. Mana calon pemimpin yang sebenarnya hanya merasa bisa menjadi pemimpin, mana calon yang sekiranya sejauh ini sudah terbukti karya nyatanya di tengah-tengah orang banyak. Karena memilih pemimpin berarti menyerahkan kedaulatan hidup kita kepadanya. Dan itu tidak sebentar, tetapi minimal lima tahun lamanya. Jangan sampai selama lima tahun nanti kita hanya dikuasai, tidak dipimpinnya! Selamat berdemokrasi!

1 komentar:

Posting Komentar