"DEMOKRASI milik siapa? Punya nenekmu?” Demikian seorang teman sinis sembari membanting setumpuk buku.
Entah buku-buku apa, itu tak penting! Tapi yang jelas, kata demokrasi memang telah begitu akrabnya dengan telinga kita. Survey membuktikan, bahkan nenek-nenek yang hampir habis masa kontraknya di muka bumi Indonesia ini pun bila ditanya, dengan lugu mengaku pernah mendengar kata demokrasi itu. Tapi bila ditanya artinya, mereka, dan sebagian besar orang memang tak pernah mengerti. Soalnya, negeri ini sendiri tak iklas berdemokrasi. Soalnya, sejauh ini kata demokrasi di sekitar kita semata-mata hanya salah satu dari sekian ungkapan spontan atau kelatahan dari lidah kita yang tak bertulang ini. Kata demokrasi di negeri ini, dalam keseharian fungsinya bisa disejajarkan dengan kata “jancuk”, “ndas keleng”, “ndas bedag”, “sing ada apa de”, “sialan”, “astaga” atau kelatahan terkini “keciaaan deh lu” dan sebangsanya.
Kata demokrasi bisa saja terucap sepontan ketika kita kaget misalnya, atau pada saat kaki terantuk batu, atau tangan tersengat api, atau pada saat ketemu teman. “Demokrasi kau! Kok tumben kelihatan, ke mana saja?” Atau “Demokrasi! Aku lupa membawa dompet!” Atau “Demokrasi lu! Ngapain ikut ke sini? Pergi sana!” Bahkan bisa begini: “Demokrasi! Seksi sekali cewek itu. Siapa ya?”
Oke. Jangan takut anda bingung. Karena anda tidak sendiri. Karena memang benar kita semua sungguh bingung oleh istilah demokrasi yang ada di negeri kita ini. Mau bukti?
Negara Indonesia, diproklamirkan sebagai sebuah negara demokrasi. Maka negara ini berbentuk republik. Maka negara ini pun begitu lepas dari penjajah tidak lagi menganut sistem pemerintahan monarki alias kerajaan. Sejak diproklamirkan, negara ini dipimpin oleh seorang presiden sebagai salah satu tatalaksana demokrasi. Presiden dipilih oleh rakyat (dulu melalui wakilnya yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, lalu setelah era reformasi dipilih langsung oleh rakyat), dari rakyat – bukan berdasarkan keturunan tertentu dan juga penggantinya kelak tidak otomatis keturunan presiden sebelumnya –, dipilih untuk rakyat sehingga presiden sering menyebut atau mengaku dirinya sebagai “pengemban amanat rakyat” – bukan sebagai “pemerintah rakyat”. Bahkan presiden yang tahu diri akan dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai “pengabdi bangsa dan negara”.
Sayangnya, sejak negara ini diproklamirkan sebagai negara demokrasi, kita langsung lupa pada hakekat demokrasi. Kita lupa dan bahkan sengaja mengabaikan, membuang, melecehkan hingga membunuh norma-norma yang terkandung dalam demokrasi itu. Presiden – semua presiden, semua pemimpin: menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, kepala desa, lurah, Ketua RT, Ketua RW, kelian banjar, semua wakil rakyat, semua semua semuanya sertamerta menyebut dirinya “pemerintah”. Kata pemerintah itu sendiri dalam bahasa Indonesia mengandung arti tukang perintah. Jadi, mereka yang dipilih oleh – dari – untuk rakyat tersebut, begitu duduk di kursinya, bukan lagi sebagai abdi negara atau abdi rakyat, bukan lagi pengemban amanat rakyat, tetapi menjadi tukang perintah yang harus diladeni sebaik-baiknya oleh rakyat yang dulu menjadi komunitasnya, yang dulu memilihnya. Dan tak kalah kacaunya, rakyat pun dengan sukarela menerima kenyataan itu, dengan perilaku yang tak berbeda bila misalnya berhadapan dengan seorang raja. Rakyat dengan sukarela dan penuh rasa takut menyembah-nyembah, memuja-muja, menurut, dengan bahkan tak berani mengangkat kepala. He he he, lucu!
Maka apa kata presiden atau pemimpin pun bukan lagi cermin dari kemauan rakyat, tetapi perintah untuk rakyat. Rakyat ingin begini, pemerintah memerintah begitu. Rakyat minta ini, pemerintah menyuruh begitu. Pemimpin tak mau mengikuti kehendak rakyat, tetapi rakyatlah yang harus tunduk kepada doktrin-doktrin yang dikeluarkan hanya berdasarkan selera siapa yang menjadi pemimpin. Bahkan perangkat lunak untuk penyelenggaraan demokrasi yang bernama undang-undang dan hukum disesuaikan dengan selera siapa yang sedang memerintah.
Celakanya, orang-orang yang bekerja menjadi pembantu para pemimpin itu pun sama sekali tak punya inisiatif untuk menjembatani antara keinginan maupun kebutuhan rakyat. Mereka bahkan cenderung ikut bermain perintah serta mencari-cari kesempatan untuk turut menanamkan selera demi kepentingannya sendiri. Maka tidak aneh kemudian jika rakyat datang ke kantor pemerintah, para pembantu tersebut justru memasang wajah angker, menceritakan hal-hal yang kelewat absurd kepada rakyat yang datang agar seolah-olah mereka terlihat bekerja keras. Rakyat datang untuk menghadap bupati saja misalnya, para kepala bagian langsung memasang wajah kusut sembari berkata: “Wah, Bapak sekarang sedang tidak bisa diganggu.” Dan seterusnya...
Sedihnya, para wakil rakyat tak kalah keblingernya. Mereka yang seharusnya menjembatani kepentingan rakyat, aspirasi rakyat, kebutuhan rakyat yang diwakilinya untuk diamanatkan kepada pemimpin alias pemerintah, langsung lumpuh di hadapan pemerintah. Bukan lumpuh karena takut, tetapi tak berdaya karena mereka sendiri lebih suka mengurus kepentingannya sendiri. Para wakil rakyat memang kedengaran sering menegur pemerintah, tetapi bukan karena pemerintah melupakan rakyat, melainkan pemerintah mengabaikan mereka. Para wakil rakyat bahkan sering kedengaran menakut-nakuti pemerintah, tetapi menakut-nakuti karena pemerintah lalai memenuhi kebutuhan mereka seperti misalnya telat memberi uang jajan, atau lupa mengajak jalan-jalan.
AKIBAT dari ketidakiklasan berdemokrasi yang diwariskan oleh para pemimpin secara turun-temurun kepada rakyat, maka rakyat pun tak sempat belajar berdemokrasi. Mereka akhirnya merasa tahu demokrasi hanya dari nguping-nguping, atau melihat dari kejauhan. Maka suatu saat ketika mendapat kesempatan, rakyat pun mengira demokrasi itu adalah semata-mata kebebasan. Rakyat mengeksploitasi kebebasan dengan selera sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang hanya disesuaikan dengan kepentingan sendiri atau kelompoknya saja.
Maka kita pun sesungguhnya tak pernah beranjak dari pemandangan-pemandangan sejarah yang sudah terjadi sejak jaman dulu. Intimidasi antar kelompok, antar komunitas, penjegalan, penyingkiran atas pikiran-pikiran kritis, bukannya berhenti ketika kita pernah sepakat menegakkan demokrasi. Semua yang berbau kontraproduktif dengan demokrasi malah kian leluasa dilakukan oleh siapa saja. Di pihak pemegang kekuasaan, kekuasaan atas rakyat semakin dipertegas. Bahkan untuk memilih pemimpin sendiri untuk sebuah komunitas saja harus ditentukan dari atas. Si Anu tidak boleh mencalonkan diri atau dicalonkan, tidak boleh naik, tidak boleh dipilih. Rakyat harus memilih Si Kelor yang ekornya sudah dipegang penguasa. Si Jarak tak boleh ngomong, tetapi yang harus ngomong adalah Si Jahe. Pokoknya rakyat harus menerima apapun petunjuk dan ketentuan dari atas sana.
Di akar rumput, pelecehan bahkan pembunuhan karakter dan jiwa demokrasi lebih gila lagi. Sekelompok orang yang merasa lebih banyak, harus mendominasi di segala aspek. Yang sedikit, yang kecil, harus lega mencari tempat di pinggir. Sebuah partai yang besar bahkan tak merasa malu ketika massanya mencegat partai lain yang bahkan hanya sekedar numpang lewat. Mereka tak merasa bersalah ketika massanya merusak rumah atau kantor orang lain hanya dengan alasan karena orang lain itu berbeda aspirasi, berbeda bendera partai dengan kelompoknya. Sementara itu, ketika di tubuhnya sendiri ada yang mencoba kritis, langsung dicopot, langsung disingkirkan.
Dan demikianlah. Ketika kita memahami demokrasi hanya dari hasil nguping, melihat dari kejauhan, maka kebijakan demokrasi yang sesungguhnya malah kita perlakukan sebagai barang haram. Saat itu pula kita tiba-tiba tak berani bersaing dengan orang lain. Saat itu pula kita kurang percaya diri untuk tampil bersama dengan orang lain. Saat itu pula kita kehilangan rasa hormat dan penghargaan atas keberadaan sesuatu yang lain di luar kita. Akhirnya, demokrasi yang kita pahami pun menjadi tak lebih dari salah satu ungkapan latah ketika kita kaget. Demokrasi tanpa sengaja kita deretkan di sela-sela “jancuk”, “ndas bedag” atau “sialan”.
Entah buku-buku apa, itu tak penting! Tapi yang jelas, kata demokrasi memang telah begitu akrabnya dengan telinga kita. Survey membuktikan, bahkan nenek-nenek yang hampir habis masa kontraknya di muka bumi Indonesia ini pun bila ditanya, dengan lugu mengaku pernah mendengar kata demokrasi itu. Tapi bila ditanya artinya, mereka, dan sebagian besar orang memang tak pernah mengerti. Soalnya, negeri ini sendiri tak iklas berdemokrasi. Soalnya, sejauh ini kata demokrasi di sekitar kita semata-mata hanya salah satu dari sekian ungkapan spontan atau kelatahan dari lidah kita yang tak bertulang ini. Kata demokrasi di negeri ini, dalam keseharian fungsinya bisa disejajarkan dengan kata “jancuk”, “ndas keleng”, “ndas bedag”, “sing ada apa de”, “sialan”, “astaga” atau kelatahan terkini “keciaaan deh lu” dan sebangsanya.
Kata demokrasi bisa saja terucap sepontan ketika kita kaget misalnya, atau pada saat kaki terantuk batu, atau tangan tersengat api, atau pada saat ketemu teman. “Demokrasi kau! Kok tumben kelihatan, ke mana saja?” Atau “Demokrasi! Aku lupa membawa dompet!” Atau “Demokrasi lu! Ngapain ikut ke sini? Pergi sana!” Bahkan bisa begini: “Demokrasi! Seksi sekali cewek itu. Siapa ya?”
Oke. Jangan takut anda bingung. Karena anda tidak sendiri. Karena memang benar kita semua sungguh bingung oleh istilah demokrasi yang ada di negeri kita ini. Mau bukti?
Negara Indonesia, diproklamirkan sebagai sebuah negara demokrasi. Maka negara ini berbentuk republik. Maka negara ini pun begitu lepas dari penjajah tidak lagi menganut sistem pemerintahan monarki alias kerajaan. Sejak diproklamirkan, negara ini dipimpin oleh seorang presiden sebagai salah satu tatalaksana demokrasi. Presiden dipilih oleh rakyat (dulu melalui wakilnya yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, lalu setelah era reformasi dipilih langsung oleh rakyat), dari rakyat – bukan berdasarkan keturunan tertentu dan juga penggantinya kelak tidak otomatis keturunan presiden sebelumnya –, dipilih untuk rakyat sehingga presiden sering menyebut atau mengaku dirinya sebagai “pengemban amanat rakyat” – bukan sebagai “pemerintah rakyat”. Bahkan presiden yang tahu diri akan dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai “pengabdi bangsa dan negara”.
Sayangnya, sejak negara ini diproklamirkan sebagai negara demokrasi, kita langsung lupa pada hakekat demokrasi. Kita lupa dan bahkan sengaja mengabaikan, membuang, melecehkan hingga membunuh norma-norma yang terkandung dalam demokrasi itu. Presiden – semua presiden, semua pemimpin: menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, kepala desa, lurah, Ketua RT, Ketua RW, kelian banjar, semua wakil rakyat, semua semua semuanya sertamerta menyebut dirinya “pemerintah”. Kata pemerintah itu sendiri dalam bahasa Indonesia mengandung arti tukang perintah. Jadi, mereka yang dipilih oleh – dari – untuk rakyat tersebut, begitu duduk di kursinya, bukan lagi sebagai abdi negara atau abdi rakyat, bukan lagi pengemban amanat rakyat, tetapi menjadi tukang perintah yang harus diladeni sebaik-baiknya oleh rakyat yang dulu menjadi komunitasnya, yang dulu memilihnya. Dan tak kalah kacaunya, rakyat pun dengan sukarela menerima kenyataan itu, dengan perilaku yang tak berbeda bila misalnya berhadapan dengan seorang raja. Rakyat dengan sukarela dan penuh rasa takut menyembah-nyembah, memuja-muja, menurut, dengan bahkan tak berani mengangkat kepala. He he he, lucu!
Maka apa kata presiden atau pemimpin pun bukan lagi cermin dari kemauan rakyat, tetapi perintah untuk rakyat. Rakyat ingin begini, pemerintah memerintah begitu. Rakyat minta ini, pemerintah menyuruh begitu. Pemimpin tak mau mengikuti kehendak rakyat, tetapi rakyatlah yang harus tunduk kepada doktrin-doktrin yang dikeluarkan hanya berdasarkan selera siapa yang menjadi pemimpin. Bahkan perangkat lunak untuk penyelenggaraan demokrasi yang bernama undang-undang dan hukum disesuaikan dengan selera siapa yang sedang memerintah.
Celakanya, orang-orang yang bekerja menjadi pembantu para pemimpin itu pun sama sekali tak punya inisiatif untuk menjembatani antara keinginan maupun kebutuhan rakyat. Mereka bahkan cenderung ikut bermain perintah serta mencari-cari kesempatan untuk turut menanamkan selera demi kepentingannya sendiri. Maka tidak aneh kemudian jika rakyat datang ke kantor pemerintah, para pembantu tersebut justru memasang wajah angker, menceritakan hal-hal yang kelewat absurd kepada rakyat yang datang agar seolah-olah mereka terlihat bekerja keras. Rakyat datang untuk menghadap bupati saja misalnya, para kepala bagian langsung memasang wajah kusut sembari berkata: “Wah, Bapak sekarang sedang tidak bisa diganggu.” Dan seterusnya...
Sedihnya, para wakil rakyat tak kalah keblingernya. Mereka yang seharusnya menjembatani kepentingan rakyat, aspirasi rakyat, kebutuhan rakyat yang diwakilinya untuk diamanatkan kepada pemimpin alias pemerintah, langsung lumpuh di hadapan pemerintah. Bukan lumpuh karena takut, tetapi tak berdaya karena mereka sendiri lebih suka mengurus kepentingannya sendiri. Para wakil rakyat memang kedengaran sering menegur pemerintah, tetapi bukan karena pemerintah melupakan rakyat, melainkan pemerintah mengabaikan mereka. Para wakil rakyat bahkan sering kedengaran menakut-nakuti pemerintah, tetapi menakut-nakuti karena pemerintah lalai memenuhi kebutuhan mereka seperti misalnya telat memberi uang jajan, atau lupa mengajak jalan-jalan.
AKIBAT dari ketidakiklasan berdemokrasi yang diwariskan oleh para pemimpin secara turun-temurun kepada rakyat, maka rakyat pun tak sempat belajar berdemokrasi. Mereka akhirnya merasa tahu demokrasi hanya dari nguping-nguping, atau melihat dari kejauhan. Maka suatu saat ketika mendapat kesempatan, rakyat pun mengira demokrasi itu adalah semata-mata kebebasan. Rakyat mengeksploitasi kebebasan dengan selera sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang hanya disesuaikan dengan kepentingan sendiri atau kelompoknya saja.
Maka kita pun sesungguhnya tak pernah beranjak dari pemandangan-pemandangan sejarah yang sudah terjadi sejak jaman dulu. Intimidasi antar kelompok, antar komunitas, penjegalan, penyingkiran atas pikiran-pikiran kritis, bukannya berhenti ketika kita pernah sepakat menegakkan demokrasi. Semua yang berbau kontraproduktif dengan demokrasi malah kian leluasa dilakukan oleh siapa saja. Di pihak pemegang kekuasaan, kekuasaan atas rakyat semakin dipertegas. Bahkan untuk memilih pemimpin sendiri untuk sebuah komunitas saja harus ditentukan dari atas. Si Anu tidak boleh mencalonkan diri atau dicalonkan, tidak boleh naik, tidak boleh dipilih. Rakyat harus memilih Si Kelor yang ekornya sudah dipegang penguasa. Si Jarak tak boleh ngomong, tetapi yang harus ngomong adalah Si Jahe. Pokoknya rakyat harus menerima apapun petunjuk dan ketentuan dari atas sana.
Di akar rumput, pelecehan bahkan pembunuhan karakter dan jiwa demokrasi lebih gila lagi. Sekelompok orang yang merasa lebih banyak, harus mendominasi di segala aspek. Yang sedikit, yang kecil, harus lega mencari tempat di pinggir. Sebuah partai yang besar bahkan tak merasa malu ketika massanya mencegat partai lain yang bahkan hanya sekedar numpang lewat. Mereka tak merasa bersalah ketika massanya merusak rumah atau kantor orang lain hanya dengan alasan karena orang lain itu berbeda aspirasi, berbeda bendera partai dengan kelompoknya. Sementara itu, ketika di tubuhnya sendiri ada yang mencoba kritis, langsung dicopot, langsung disingkirkan.
Dan demikianlah. Ketika kita memahami demokrasi hanya dari hasil nguping, melihat dari kejauhan, maka kebijakan demokrasi yang sesungguhnya malah kita perlakukan sebagai barang haram. Saat itu pula kita tiba-tiba tak berani bersaing dengan orang lain. Saat itu pula kita kurang percaya diri untuk tampil bersama dengan orang lain. Saat itu pula kita kehilangan rasa hormat dan penghargaan atas keberadaan sesuatu yang lain di luar kita. Akhirnya, demokrasi yang kita pahami pun menjadi tak lebih dari salah satu ungkapan latah ketika kita kaget. Demokrasi tanpa sengaja kita deretkan di sela-sela “jancuk”, “ndas bedag” atau “sialan”.
1 komentar:
inilah unik indonesia...negara yang selalu membesar-besarkan dirinya sebagai negara demokrasi...tetapi kenyataanya tidak pernah ada...
Posting Komentar