BANYAK orang telah mengingatkan saya tentang pertemuan pertama. Tepatnya, mereka tidak mengingatkan, tetapi menegur. Bahkan akhirnya oleh suatu sebab, mereka menegur saya dengan sangat keras. “Ya, barangkali memang itu tak berarti dan tak perlu diingat. Kita saja yang terlalu bodoh,” demikian mereka di puncak kemarahannya.
Saya yang memang sama sekali tak berpikir jauh terutama mengenai pertemuan-pertemuan, jadi kaget juga dengan kemarahannya itu. Tanpa sempat berargumentasi, saya malah diam-daim merasa bersalah. Tapi terus terang, saya tidak sepenuhnya iklas dengan perasaan bersalah itu. Memangnya kenapa kalau saya lupa atas suatu pertemuan pertama? Apakah sebuah pertemuan pertama mesti dicatat sedemikian rupa di dalam hati dan mesti selalu diingat-ingat? Apakah setiap pertemuan pertama mesti dimaknai menjadi sesuatu yang istimewa? Apakah setiap pertemuan pertama mesti menjadi hal yang mesti pula diperingati?
Sederet pertanyaan yang membuat saya semakin terpojok sendiri. Sementara itu hati saya yang rapuh, hati saya yang berkarat, hati saya yang sudah hitam legam oleh campur aduknya berbagai peristiwa duniawi sepanjang hidup saya yang sejatinya belumlah seberapa panjang ini, rasanya sudah tak ada tempat lagi untuk menorehkan secuil kenangan. Sudah lama saya belajar dan bertekad untuk tidak mengenang-ngenang sesuatu. Sudah lama saya dengan sengaja dan dalam kesadaran penuh tanpa tekanan pihak-pihak manapun juga, berusaha melupakan segala sesuatu yang sudah pernah saya sentuh, saya lalui, saya rasakan, saya terima, saya miliki, saya hormati, saya cintai, saya benci, saya harapkan, saya rindukan, saya ..., bahkan Tuhan saja begitu sering saya lupakan!
MEMANG, saya sering diajak banyak orang untuk ikut mendengarkan cerita tentang pertemuan pertama mereka dengan orang-orang yang akhirnya menjadi sesuatu yang memiliki arti, makna, peran bahkan posisi tersendiri dalam hidupnya. Pertemuan pertama tersebut konon terjadi tak sengaja, tetapi pada suatu waktu yang sedemikian rupa sehingga seperti menempatkan mereka pada sebuah ujung takdir dalam kehidupannya. Menjadi momentum yang merubah jalan hidupnya, dari sebelumnya tak tentu arah menjadi teratur dan siap di segala hal. Luar biasa mereka memaknai momentum pertemuan pertama tersebut. Dan saat menceritakannya, jelas sekali tersirat di raut wajah mereka sebuah perasaan bahagia serta rasa syukur yang mendalam.
Dengan cerita yang nyaris serupa, begitu banyak orang yang mengaku akhirnya bisa “menjadi” dan “mengada” karena berawal dari sebuah pertemuan pertama. “Kalau dulu saya tak bertemu dia, mungkin sekarang saya tidak menjadi begini.” Atau “Kalau saja dulu saya tak bertemu dia, mungkin hidup saya tambah hancur.” Atau “Pertemuan kami yang pertama telah menuntun kami ke dalam cinta dan sayang yang kian mendalam.” Dan masih banyak lagi kenangan-kenangan manis dan indah yang sering diceritakan orang pada saat-saat yang dianggap tepat untuk menceritakannya.
Maka pertemuan pertama, oleh sebagian besar orang-orang yang memiliki perasaan romantis (siapa sih sejatinya tak romantis di dunia ini?), selalu menjadi awal sejarah yang tercatat rapi di bilik hatinya. Menjadi awal dari sebuah kepingan sejarah. Menjadi bagian dari kesakralan nasib dan takdir. Menjadi bagian yang wajib disyukuri, atau paling tidak menjadi sebuah pengalaman yang punya hikmah spesial. Bahwa pertemuan pertama konon dapat diibaratkan ...
SAYA percaya. Sungguh percaya dan menghormati semua itu. Tetapi saya toh sudah memutuskan untuk tidak memberi makna apa-apa atas sebuah pertemuan pertama, setidaknya pertemuan yang terjadi pada diri saya. Dan untuk hal ini, tentu saja saya juga punya alasan. Saya mungkin orang yang putus asa, he he he. Tapi apa salah orang yang memilih untuk putus asa?
Seperti sudah saya katakan tadi, bahwa hati saya yang rapuh, berkarat, hitam legam dan sangat sangat sangat kecil, terasa sudah begitu penuh sesak oleh berbagai hal yang harus saya rasakan, yang harus saya lihat, yang harus saya saksikan, yang harus saya masuki tanpa bisa menghindar. Setiap menit, bahkan setiap sepersekian detik, berbagai peristiwa, pemandangan, kabar berita dan seterusnya, memaksa masuk ke tubuh saya dan berebut mencari tempat sendiri di dalah hati saya. Semua itu bahkan tidak saja masuk secara wajar melalui mata, telinga, hidung, mulut, tetapi bahkan mereka memaksa masuk melalui setiap lubang bulu atau pori-pori sekujur tubuh saya. Saya sekarat. Sudah lama sekali!
Saya sudah sekarat sebelum sempat apa-apa. Bahkan saat pertemuan pertama saya dengan dunia ini ketika lahir dulu, konon saya menangis teramat keras. Orang-orang yang menyaksikan kelahiran itu pun konon berujar, “Anak ini akan sekarat sepanjang hidupnya karena tak cukup kuat menghadapi dunia!”
Saya memang tidak mau menghadapi dunia. Tetapi saya menerima dunia. Apapun yang diperlakukan dunia terhadap saya, selama ini saya terima saja. Walau kadang-kadang melawannya juga dengan keras kepala, toh ujung-ujungnya saya kalah atau harus mengalah. Karena ketika saya pernah bermaksud tak mengalah, tetapi lalu saya dibilang gila. Saya jadi bingung. Baiklah, saya tak takut dibilang gila, tetapi dengan sebutan itu saya bingung. Maka daripada menderita bingung berkepanjangan, saya memilih kalah. Orang kalah toh tidak...
Kembali kepada soal pertemuan pertama itu, nampaknya saya harus meminta maaf kepada siapa saja yang merasa pernah bertemu saya. Saya berjanji akan menghargai dan menghormati setiap pertemuan kapan pun, tetapi tolong jangan paksa saya harus mengingat-ingat dan harus memperingati pertemuan pertama itu. Saya takut membuat Anda kecewa, karena ketika Anda mengajak saya mengingat-ingat pertemuan pertama itu, saya justru sedang telah melupakannya. Maaf. Tapi jangan kuatir, kendati saya seperti itu, saya tetap dan terus mencintai Anda semua setiap hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar