SUATU hari saya diundang seorang teman ke Jakarta. Bukan untuk apa-apa, saya hanya dimintai tolong untuk men-setting sebuah acara peluncuran buku kumpulan cerpennya – “tentang Bali”, yang diterbitkan oleh sebuah penerbit terkemuka di Jakarta.
Walaupun teman itu juga memesan dibawakan beberapa kilo bunga jepun (kamboja Bali), mulanya saya kira tugas saya hanya sebatas membuat susunan acara. Membuat prolog bagi para undangan, lalu duduk di samping pembawa acara hingga acara yang ternyata dihadiri para artis ibu kota itu selesai. Tapi dugaan saya keliru. Saya ternyata sekaligus disuruh men-setting panggung pertunjukan sebuah short story theatre – kolaborasi seorang penari dari Bandung dengan seorang Dosen IKJ. “Pokoknya kau bikin suasana Bali. Soalnya, nanti penari akan menari bungbung dan ada rangda serta celuluk-nya,” demikian perintah teman tadi seolah sama sekali tanpa memperhitungkan betapa sulitnya mencari orneman berbau Bali di kawasan Blok M Jakarta itu.
Seharian saya berpikir. Terlebih-lebih setelah melihat lokasi acara yang ternyata diselenggarakan di sebuah kafe. Walaupun nama kafe tersebut “Warung Apresiasi”, tetapi saat itu keadaannya tak beda dengan kafe-kafe di Indonesia umumnya. Panggung yang ada sudah didominasi oleh seperangkat alat band. Meja-meja antik dipenuhi aroma rokok luar negeri dan sedikit bau alkohol yang keasam-asaman.
Saya berpikir, apa tidak mubazir di tengah kecuekan warga masyarakat serba cepat tersebut tiba-tiba harus menghadirkan suasana Bali? Saya ragu, apakah Jakarta akan peduli benar dengan apa yang terjadi di dalam dirinya, dan, apakah suasana Bali dalam sebuah acara peluncuran buku cerita pendek tentang Bali (pasca tragedi bom Kuta I) itu harus disetting seperti Bali? Dan melebihi dari semua itu, Bali yang bagaimana yang akan dapat saya bangun di tengah-tengah sepetak panggung ukuran 4 X 5 meter?
Hingga keesokan harinya, di hari H acara tersebut, saya masih belum menemukan jawaban untuk konsep panggung yang harus saya kerjakan. Saya gelisah. Tetapi untung masalah itu tak berlangsung lama. Istri teman itu sekonyong-konyong membeli beberapa puluh meter kain putih. “Siapa tahu dengan kain putih ini idemu muncul,” ujarnya.
Dan dengan dibantu empat orang teman, saya bentangkan saja kain putih tersebut hingga menutupi seluruh bagian panggung yang ada. Saya yakin, tak satu pun penonton yang bakalan bisa menerina, bahwa itu suasana Bali. Hanya putih. Dan, malam pun tiba.
Ketika kemudian “teater cerita pendek” itu berlangsung, ketika Lena - sang penari bertubuh mungil dari Bandung itu meliuk di antara guguran bunga jepun (sesuai judul buku kumpulan cerpen yang diluncurkan malam itu), ketika kemudian sesosok rangda berkelebat mengejar-ngejar sang penari bungbung yang kehilangan kesempatan akibat tragedi bom Kuta, penonton terhenyak menahan nafas. Lebih-lebih kemudian ketika layar yang putih itu juga “ditembak” dengan rekaman video ledakan gedung WTC di New York serta kobaran api dari ledakan bom di Kuta itu. Putih itu pun jadi..., bukan putih, tetapi entah apa.
Banyak orang (tentu) yang menikmati hal tersebut melihatnya hanya sebagai sebuah peristiwa teater. Dan space Bali yang bagi saya gagal total itu, ternyata dengan kecerdasan sendiri mereka tangkap melalui gerak tari dan munculnya sosok rangda. Dan mereka, orang-orang Jakarta itu, dengan terkagum-kagum masih saja terpesona pada batas eksotika Bali dari adegan tarian bungbung dan rangda tadi.
Sementara itu, bunga jepun yang jatuh satu persatu dari atas panggung, terus jatuh. Berserakan di atas lantai, di dalam kolam kecil kafe mengapung-apung. Dan, ah, di sanalah saya tiba-tiba melihat Bali. Di bilah-bilah bunga jepun itu. Bali yang mengapung, Bali yang terapung-apung di tengah tiga belas ribu pulau lainnya di Nusantara. Bali yang terapung di tengah beribu persoalan yang menyusul beberapa saat setelah bom itu meledak di Kuta. Dan, seperti yang dikatakan teman saya di dalam cerita pendeknya itu, persoalan Bali yang sesungguhnya bukanlah pada kerusakan infrastruktur – entah itu bernama pariwisata, ekonomi atau yang lainnya. Pasca ledakan itu, barangkali yang paling parah rusaknya justru idealisme Bali.
Maka warna putih di panggung itu pun mungkin saja memang bisa dianggap atmosfir Bali. Bali yang seharusnya memang senantiasa harus dijaga putihnya oleh siapapun, terutama orang Bali sendiri. Juga seperti bunga jepun yang putih itu, bahkan tanpa tangkai putik dan benang sari tetap wangi aromanya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar