Mutilasi

Bagaimana pun, ketika mayat seseorang di sebuah kawasan itu ditemukan tanpa kepala, tanpa kedua tangan dan kedua kaki, orang-orang terkesiap. Dan kita, semua, merasa ngeri membayangkan bagaimana sesosok tubuh manusia terbujur tidak lengkap, tidak saja tanpa nyawa, tetapi sekali lagi tanpa tangan dan bahkan tanpa kepala. Dan yang paling memiriskan hati, semua itu jelas-jelas adalah buah perbuatan sesama anak manusia.

Kita masih selalu tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang anak manusia mampu, berani dan tega melakukan perbuatan yang sungguh kejam atas anak manusia lain yang setidaknya adalah temannya, tetangganya atau pun hanya sekedar kenalannya. Kita masih selalu tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang anak manusia mampu, berani dan tega memotong-motong tubuh anak manusia lain, kemudian membawa potongan tubuh itu entah ke mana, entah dibuang atau entah untuk apa. Sungguh memang sebuah perbuatan yang entah telah melalui proses macam apa, sehingga akal sehat, jiwa waras, telah menjadi kehilangan kekuatan untuk sekedar mengendalikan otot-otot yang telah melakukannya.

Dan peristiwa yang kemudian dalam beberapa hari menjadi headline pemberitaan di media massa secara berturut-turut tersebut, tentulah tidak hanya berhenti sebagai berita saja. Kita pun secara setengah sengaja bahkan mungkin benar-benar sengaja, memutar balik lagi lembaran waktu, gugusan hari-hari ke belakang. Kita mengingat-ingat, apakah sebelumnya kita telah pernah mendengar hal yang sama?

Ternyata tidak sulit untuk menemukan serta memutar ulang lagi ingatan atas peristiwa-peristiwa sejenis. Ternyata telah pernah kita dengar atau baca, bahwa telah pernah terjadi peristiwa-peristiwa pembunuhan sesama anak manusia dengan pola yang sama, yaitu korban dipotong-potong semasih hidup atau sesaat sesudah tak bernyawa. Pola yang kemudian dikenal dengan istilah mutilasi ini, ternyata sungguh bukan lagi sesuatu yang baru di tengah harmoni kehidupan kita sesama anak manusia. Mutilasi ternyata telah ada atau telah pernah terjadi secara berulang-ulang dalam luka sejarah peradaban kita.

Dalam prikehidupan normal, peristiwa atau perbuatan pembunuhan dengan cara yang berlebihan seperti dengan masih harus memotong-motong jasad korban, adalah sesuatu yang tetap menimbulkan kengerian serta kesedihan dengan luka psikologis mendalam bahkan kepada kita di tempat jauh yang hanya sempat membaca atau melihat sekilas beritanya di koran atau televisi. Kita ngeri dan sedih, kenapa ada anak manusia yang wujudnya sama seperti kita, bisa kehilangan kesadaran normal sehingga menjadi sadis begitu? Adakah sesuatu yang telah dengan hebatnya merasuki serta merusak kemanusiaan kita, lalu setiap saat mengendalikan otak, otot dan nurani kita untuk meninggalkan sama sekali kemanusiaan kita? Apakah dia yang selama ini kita kenal dengan nama setan itu? Kalau iya, kok bisa? Bukankah selama ini kita telah demikian relijiusnya dalam menjalani hidup? Melakukan berbagai ritual-ritual, doa-doa dan lain sebagainya? Apakah ini kemudian menjadi bukti bahwa relijiusitas kita selama ini hanya sebentuk kamuflase demi kamuflase?

Di sini saya sekonyong-konyong jadi terkesima pada diri sendiri. Bahwa sekonyong-konyong, betapa perilaku kemanusiaan kita ternyata sebagian besar memang hanya sampai pada garis abu-abu, antara iklas dan kamuflase itu. Dan relijiusitas kita itu pun ternyata dengan sedih hanya sampai di garis abu-abu itu. Ironisnya, relijiusitas itu sendiri telah lama sekali kita mutilasi secara massal. Bayangkan, bagaimana kita suka sekali memangkas kitab suci agama kita, mengambil hanya sepotong-sepotong saja ayat-ayatnya untuk kita sesuaikan dan pergunakan demi kebutuhan sesaat. Bagaimana kita gemar sekali memotong-motong upacara suci, tarian suci, tempat suci, tanah suci, hingga doa suci, hanya untuk kepentingan tertentu yang kalau mau jujur ternyata hanya demi kepentingan yang terlalu pribadi, terlalu eksklusif, hanya demi secuil tujuan, hanya demi sekutu, hanya demi..., ah, relijiusitas kita ternyata sebagian besar justru telah mengabaikan kehidupan bersama, mengabaikan universalisme, dan, mengabaikan kemanusiaan itu sendiri. Padahal, agama, upacara suci dan doa, sebagaimana dunia, semesta dan hidup, dalam pemahaman yang paling sederhana sejatinya adalah untuk dan milik bersama.

Dalam ruang yang lebih kecil, dalam bernegara saja misalnya, betapa kita juga sudah sejak dulu telah melakukan mutilasi secara terus-menerus dan massal terhadap negara kita sendiri. Bagaimana kita memutilasi lambang dan dasar negara demi kepentingan dan keyakinan masing-masing kelompok bentukan kita. Setiap partai politik memutilasi sedemikian rupa dasar dan lambang negara. Partai yang satu hanya mengambil ketuhanannya saja, partai yang satunya lagi hanya mengambil demokrasinya saja, partai yang lainnya hanya mengambil keadilannya saja, partai yang satunya lagi hanya mengambil persatuannya saja dan seterusnya. Dasar negara yang dulu dirancang, diwujudkan serta disepakati dalam satu keutuhan dan keyakinan untuk kemaslahatan bersama seluruh anak bangsa, toh dengan gembira dan eforia kita mutilasi, kita potong-potong, hanya demi memenangkan kepentingan yang ujung-ujungnya: kekuasaan bersama golongan! Sementara anak bangsa yang bukan sekutu, yang bukan golongan atau yang bukan separtai, cukuplah menjadi obyek prosesi dalam mempertahankan kelanggengan kekuasaan tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari kita juga terus-menerus memutilasi ibu pertiwi tempat kita berpijak dan hidup. Kita terus mengambil pasirnya sekarung demi sekarung, mengambil batunya sekeranjang demi sekeranjang, mengambil emasnya segram demi segram, besinya, bajanya, peraknya, tembaganya, batubaranya, minyaknya, intannya, bukit-bukitnya, hutannya, airnya dan seterusnya. Betapa dengan gembiranya kita memotong-motong bagian demi bagian tubuh bumi, mengabaikan deritanya seraya secara gampang saja memaafkan diri sendiri di suatu ketika saat kita ditegur dan disadarkan sejenak oleh sebentuk bencana alam. Menyesali perbuatan demi perbuatan keji terhadap semesta raya sekaligus untuk memaafkan diri sendiri itu pun senantiasa kita lakukan hanya secara sepihak. Kita hanya kembali berupacara bersama, berdoa bersama, meminta Tuhan agar mengembalikan bumi dan semesta raya menjadi baik. Kita selalu hanya selesai pada sepenggal doa, dan untuk selanjutnya merasa tak perlu mengimplementasikannya ke dalam kerja nyata bagaimana bersungguh-sungguh mengobati luka bumi, luka ibu pertiwi, luka kemanusiaan yang telah kita mutilasi.

Maka, ketika sosok mayat seseorang di suatu kawasan itu ditemukan tanpa kepala dan kedua tangan, atau ketika sosok mayat seorang anak manusia lainnya entah di mana ditemukan dalam keadaan terpotong-potong, semoga kita akan menjadi teringat bahwa kita, semua, memang mahluk pemutilasi yang segera harus menghentikan kesukaan itu!

Nanoq da Kansas

6 komentar:

tyasjetra mengatakan...

mutilasi.. membayangkannya aja ngeri..
semoga dengan booming nya berita tentang Ryan dan pelaku mutilasi lainnya, tidak malah menjadi trigger dan stimulan utk para psikopat lainnya..

Anonim mengatakan...

hmm..iya bli..menyedihkan. kadang juga kita sengaja memotong2 yang utuh, karena yang utuh itu tak mendatangkan duit dengan cepat...

balidreamhome mengatakan...

sepertinya sih memang manusia sangat punya potensi untuk menjelma menjadi jenis binatang yang sangat kejam dan liar karena mempunyai daya pikir dan kreasi :-)

wendra wijaya mengatakan...

Setuju boz.. kita memang pemutilasi.. Saya mau tanya, apakah jika memenggal sebagian artikel orang lain tanpa izin untuk melengkapi artikel kita juga bisa disebut mutilasi, heheeeee....

Kemala Astika mengatakan...

aku masih teringat ketika pertama kali aku dengar kabar tentang mutilasi. waktu itu aku masih sd. rasanya mengerikan sekali dan amat sangat sadiss. aku sampai tak bisa makan dan minum selama beberapa hari.
sebulan lalu ada kabar tentang Ryan yang demen mengubur korbannya di halaman rumahnya.
2 jenis kegiatan mutilasi ini memberikan rasa yang amat sangat berbeda. masih mengerikan. masih biadab. namun sudah tidak begitu mengejutkan.
ya, orang memang terkejut dengan Ryan dan temuan di pekarangannya. namun orang tidaklah begitu terkejut dengan pembunuhan seperti itu lagi.
Dunia indonesia kini sudah semakin dipenuhi dengan hal-hal yang semakin mengarah menjadi 'BIASA'.
Dan ketika hal menjadi BIASA, justru disitulah nyawa kita menjadi terancam. siapaun bisa menjadi mesin pembunuh bagi yang lain. siapapun bisa dibunuh oleh yang lain. Tinggal pilih mau pilih paket pembunuhan seperti apa.

dan itulah yang paling mengerikan bagiku.

bagaimana dengan anak kita nanti,,mau kita wariskan dunia macam apa bagi mereka?

kak, bisa bantu?

situs poker mengatakan...

mantap gan artikel nya

Agen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola

Posting Komentar