Beradab

Bagian dari beradab dalam kehidupan manusia adalah ketika dia (manusia) menjadi pejabat atau pembesar tidaklah lantas mengedepankan sifat sok, merasa paling berkuasa, merasa harus selalu dipatuhi, merasa harus selalu dinomorsatukan sehingga akhirnya dalam setiap kesempatan harus dilayani oleh orang lain yang tidak menjadi pejabat atau pembesar. Manusia disebut beradab, maka ketika dia menjadi pejabat atau pembesar semacam presiden, gubernur, menteri, bupati, camat, kepala bagian, kepala kantor, anggota DPR, jaksa, hakim, kapolsek, kapolres, jendral, lurah, kepala desa dan seterusnya, tidaklah lantas merasa paling hebat, merasa menjadi manusia yang jauh lebih unggul dari yang lainnya sehingga dia dengan sadar tidak menggunakan jabatannya sebagai alat kekuasaan untuk mengatur serta memperlakukan orang lain sekehendak hatinya. Dia tidak gila hormat, sehingga apabila bertemu dengan manusia lain yang bukan sesama pejabat atau pembesar, dengan lapang hati mau menyapa duluan tanpa harus disapa duluan. Dia tidak memandang orang lain sebagai bawahan, tetapi setiap orang adalah rekannya yang sejajar walau dengan peran dan tugas serta nasib yang tidak sama. Dia selalu bisa memandang seorang petani, buruh, tukang ojek, tukang pikul karung di pasar, adalah sebagai para partner yang justru membantu dirinya di dalam melakukan tugas-tugas kehidupan. Soalnya, kalau tidak ada petani, buruh, tukang sapu jalanan, supir bemo dan yang lainnya, manalah mungkin seorang pejabat atau pembesar dapat bekerja melakukan tugas-tugasnya dengan aman dan lancar.

Bagian dari beradab dalam kehidupan manusia adalah ketika dia (manusia) menjadi dokter tidaklah lantas lupa pada tugas dan kewajiban mulianya sebagai tukang mengobati orang sakit. Dia tak peduli yang sakit itu siapa, tetapi yang diutamakan adalah bagaimana menyembuhkan orang itu dari penyakit yang dideritanya. Dia tidak peduli apakah pasiennya seorang bupati, polisi, tentara, tukang parkir, pengemis, pemabuk, penjahat atau yang lainnya, tetapi dia dengan sadar dan tulus hati serta cekatan memberi pertolongan dengan segala kemampuan untuk menghilangkan penyakit. Dia tidak peduli, entah harus pergi ke dusun-dusun terpencil, ke gang-gang kumuh, ke kompleks perumahan mewah, ke penjara, entah tengah malam, tengah hari, pagi, siang, sore, hujan atau panas, demi menolong orang sakit. Dia tidak peduli apakah pasiennya lelaki, perempuan, bencong, beragama atau komunis atau atheis, putih atau hitam, kecil atau besar, tua atau muda, cantik atau jelek, yang penting semuanya adalah sesama manusia. Soalnya dia juga dengan rendah hati sungguh menyadari bahwa eksistensinya sebagai dokter justru ada kerena orang sakit, bukan karena penyakit itu sendiri. Coba, apa gunanya dokter biar pun ada berjuta-juta macam penyakit tetapi tak satu pun ada orang sakit?

Bagian dari beradab dalam kehidupan manusia adalah ketika dia (manusia) menjadi polisi atau tentara tidaklah lantas petantang-petenteng sok jago di depan orang lain karena merasa punya senjata dan pemegang kuasa atas hukum. Biarpun misalnya dia seorang jendral, dia tetaplah rendah hati dan santun, ramah kepada setiap orang, gampang ditemui kalau diperlukan oleh masyarakat dari golongan manapun, tidak senantiasa curiga kepada orang lain yang kelihatan sedikit kumal, kucel, berpakaian dekil, urakan dan seterusnya. Dia akan senantiasa terbuka untuk diajak ngobrol, tidak senantiasa mengelus-ngelus pangkat dan bintang kepangkatan yang disandangnya sebagai berhala yang juga harus dipuja oleh orang lain yang bukan polisi atau tentara. Dia selalu sadar akan arti kehadiran orang lain, bahwa setiap orang, termasuk dirinya sendiri punya potensi yang sama untuk berbuat jahat atau berbuat baik. Dia selalu mengedepankan dialog, bukan asal bentak atau asal pukul atas orang yang dianggap bersalah. Soalnya, sebagai polisi atau tentara, sebenarnya dia semata-mata hanya diberikan bagian tugas oleh orang lain untuk menjaga keamanan dan ketertiban agar kehidupan bersama dapat berjalan normal dan wajar. Bukan justru untuk menciptakan kesan bahwa hidup ini penuh dengan syakwasangka dan kecurigaan.

Bagian dari beradab dalam kehidupan manusia adalah ketika dia (manusia) menjadi pendeta, peranda, biksu, ulama, pastur, kyai, pemangku, mpu, rsi, ustad, tidaklah lantas merasa sebagai orang yang paling suci di antara orang lain. Dia tidak suka mengklaim dirinya sebagai sumber kebenaran di dalam tata cara manusia berhubungan dengan tuhannya, apalagi lantas menganggap bahwa agama masing-masing yang dianutnya adalah sebuah kebenaran yang paling mutlak di atas bumi. Sebaliknya, dia justru mampu dengan rendah hati melihat realitas di sekelilingnya sebagai kesempurnaan ciptaan ilahi tanpa membanding-bandingkan perbedaannya apalagi lantas memberi penilaian berdasarkan keyakinannya sendiri. Dia juga tidak takut kehilangan pengikut, sisya, umat, kemudian dengan kotbah-kotbah yang absurd mempengaruhi orang lain agar senantiasa taqua justru dengan menjelek-jelekkan agama orang lain pula. Soalnya, yang bernama kepercayaan, yang bernama agama, aliran, atau sekte, toh juga masih senantiasa memerlukan tafsir, memerlukan terjemahan yang lebih riil, lebih manusiawi, karena yang sesungguhnya diurus oleh agama adalah manusia itu sendiri. Agama tidaklah mengurus Tuhan, karena Tuhan-lah yang menciptakan agama. Buat apa Tuhan repot-repot menurunkan agama jika hanya untuk mengurus diri-Nya sendiri? Jadi, orang yang dianggap atau diserahi tugas untuk mengelola agama, entah itu pendeta, peranda, biksu, ulama, pastur, kyai, pemangku, mpu, rsi, ustad, dan sebutan lainnya, kalau memang dia beradab pastilah orang yang justru rendah hati, lapang jiwa dan penuh sifat kemanusiawian, welas asih.

Bagian dari beradab dalam kehidupan manusia adalah ketika dia (manusia) menjadi pengelola media massa semacam wartawan, pemimpin redaksi, redaktur pelaksana dan jajarannya, tidaklah lantas dengan sewenang-wenang menggunakan penanya untuk membuat berita yang senantiasa menyalah-nyalahkan orang lain. Dengan rendah hati dia akan senantiasa menulis dan atau menurunkan berita sesuai etika yang disepakati pada bidangnya. Tidak melulu berpikir untuk membuat berita yang hebat-hebat dan besar-besar tetapi di dalamnya hanya tersusun kata-kata penghujatan, penghinaan, pemojokan, provokasi, agar beritanya diperhatikan orang dan korannya laku keras. Wartawan, pemimpin redaksi, redaktur pelaksana dan sejenisnya yang beradab, adalah orang-orang yang tahu dan sadar betul atas berita yang ditulisnya adalah sebagian besar untuk kemaslahatan bersama. Mereka senantiasa jujur luar dan dalam, tidak melulu menulis soal kejahatan dan perilaku buruk orang lain, tetapi sementara itu mereka sendiri secara sadar menggunakan penanya menjadi senjata untuk memeras orang lain yang dijadikannya sumber berita. Wartawan, pemimpin redaksi, redaktur pelaksana dan jajarannya yang beradab adalah orang-orang yang rendah hati, bisa memandang posisi orang lain bukan sebagai obyek untuk pendapatannya.

Bagian dari beradab dalam kehidupan manusia adalah ketika dia (manusia) menjadi manusia yang manusiawi saja. Dan beradab itu tidaklah sulit.

nanoq da kansas

5 komentar:

kisahyangtakselesai mengatakan...

Maaf bli Noq, aku tak sepakat jika dikatakan Tuhan yang menurunkan agama. Menurutku, agama hanyalah buatan manusia untuk menjaga perilaku manusia.

Tapi aku sepakat jika ajaran-ajaran agama merupakan wahyu Tuhan yang diturunkan melalui manusia (orang suci).

Sekali lagi, aku berkeyakinan bahwa agama adalah buatan manusia. Perjalanan waktu juga telah membuat ajaran-ajaran itu sedikit mengalami perubahan dan pergeseran. Tidak ada sesuatu yang mampu bertahan dari perubahan.

Semuanya telah tertular virus duniawi yang sayangnya belum tentu sejalan dengan kesejatian wahyu Tuhan itu sendiri...

Salam

Unknown mengatakan...

ah..aku sih sepakat-sepakat aja...karena ulasan BERADAB adalah pergulatan bathin seorang nanoq ingin menyampaikan dengan detak jantung yang amat cepat, hingga tangan bergetar....karena persoalan Tuhan dan Agama, tidak menjadi fokus yang disampaikan. Tapi paparan yang sesungguhnya perlu disimak lebih dalam.
he..tumben serius..

Nanoq da Kansas mengatakan...

@kisahyangtakselesai: terima kasih atas koreksinya.

@boy: beginilah karakter kita, bangsa ini. Kalo ada debat soal pengentasan kemiskinan misalnya, tanggapannya malah baju warna apa yang dipakai untuk berdebat. Liyuna nyaplir hehehe...

kanggoa gen jah...

Angga Wijaya mengatakan...

Memang bukan persoalan Tuhan dan Agama inti tulisan Nanoq, namun ketika ia menulis agama buatan Tuhan itu yang dikoreksi.

Salam,
Angga.

putra khan mengatakan...

mbok ya kalau komentar "tulisannya"
bukan bait perbait...
Kalau koreksi, cara penyampaiannya beda. Kalau pengertiannya koreksi akan kelihatan mencari-cari kesalahan...Dangkal doong...

salam
Putra Khan

Posting Komentar