Siap untuk Apapun

Beberapa bulan lalu, pada sebuah obrolan dalam mobil dari Denpasar menuju Negara, seorang teman yang akan berangkat ke Prancis mengaku kuatir dengan jarak yang akan ditempuhnya. “Belasan jam dalam pesawat. Dan saat itu tak sesuatu pun dapat menjamin keselamatan kita. Misalnya jika tiba-tiba mesin pesawat mati, atau tiba-tiba pesawat jatuh karena kerusakan-kerusakan fatal lainnya, maka...,” teman itu tak melanjutkan.

Hampir sepanjang perjalanan sore itu pun kami sama-sama diam. Entah mengapa, tiba-tiba kami baru sadar bahwa hidup ini, nafas di badan ini, bisa saja tiba-tiba lenyap. Bahwa hidup yang konon hanya sebagai pinjaman ini, bisa saja setiap saat ditagih kembali oleh yang meminjamkannya. Celakanya, yang punya hidup ini lebih sering menagih pinjamannya tanpa basa-basi atau pemberitahuan lebih dulu. Maka, kadang-kadang, dengan pikiran sederhana, kami jadi berpikir bahwa sebenarnya yang punya dan menguasai hidup ini “agak kurang demokratis” dan “agak tidak mengenal kompromi”. Tapi, yah, mau bagaimana lagi? Bahwa hidup toh hanya barang pinjaman. Barangkali saat meminjamnya dulu kami sebenarnya telah meneken janji atau kontrak atau prosedur bahwa cara penagihannya nanti bisa dengan cara apa saja dan kapan saja. Sayangnya, mungkin karena telah keenakan hidup, kami lupa begitu saja janji, kontrak atau prosedur tersebut.

Teman itu jadi pergi ke Prancis. Dan saya tidak mendengar ada sebuah kecelakaan pesawat pun. Begitu pula ketika dia tiba-tiba menelepon bahwa dirinya sudah kembali dan tiba di rumahnya di Jakarta dalam keadaan selamat sentausa. Jadi, apa yang kami kuatirkan dulu itu tak terjadi. Kami tanpa sadar menarik napas bersama-sama, bahwa nampaknya dia, dan juga saya (yang tidak ikut ke Prancis), masih diperkenankan memakai barang pinjaman yang bernama hidup ini. Selanjutnya, kami pun kembali lupa...

Kami lupa. Sampai ketika beberapa hari lalu, menjelang dini hari yang sepi, saya menerima sebuah pesan pendek dalam telepon seluler saya. “Ratusan warga sipil, perempuan dan anak-anak, orang-orang tua terbantai di Jalur Gaza. Eh, kamu paling-paling sudah ngorok ya...” demikian pesan itu.

Tidak! Saya sama sekali belum ngorok. Saya justru sedang memikirkan seseorang yang saat itu saya bayangkan sedang berada dalam sebuah kamar tidur bersama anak lelakinya semata wayang, entah mereka sedang tidur atau sedang insomnia, di sebuah kota di Jawa. Sebelumnya, mereka sempat mengatakan pada saya bahwa mereka berangan-angan suatu saat bisa pergi ke Bali naik pesawat karena si anak kecil tidak tahan naik bus. Bukan apa-apa yang saya bayangkan atau lamunkan, tetapi hanya ingatan kembali atas obrolan saya dengan teman yang ke Prancis bulan lalu itu. Bahwa, bepergian dengan kendaraan, entah pesawat terbang, kapal laut, bus atau kereta api, mungkin resikonya sama saja. Bagaimana jika tiba-tiba bus tabrakan, masuk jurang atau terbakar? Bagaimana jika tiba-tiba sebuah kereta api tergelincir dari rel dan terlempar dengan posisi terbalik? Bagaimana jika tiba-tiba kapal laut terserang badai dan ombak besar lantas terbalik dan tenggelam seperti tragedi Titanic yang fenomenal itu? Ah, sekali lagi saya menarik napas, toh hidup ini hanya barang pinjaman...

Pesan pendek dalam handphone itu tak saya balas. Dan lamunan saya buyar.

Saya beranjak ke kamar tidur, berdiri sejenak di sisi ranjang. Saya pandangi Elang, anak bungsu saya yang baru berumur tujuh bulan, terlelap dengan wajah nakalnya. Sementara di sebelahnya, sang ibu juga terlelap dengan nafas sedikit hampir mendengkur. Tentu dia lelah karena seharian di-ubek-ubek Elang dengan rasa ingin tahunya yang begitu besar dan tidak pernah bisa diam. Mula-mula saya ingin mencium Elang, tapi saya urung karena takut membuatnya terbangun. Saya keluar kamar, kembali ke depan laptop di teras. Saya ingin sekali pagi datang lebih cepat agar saya mungkin bisa membaca berita di koran atau menonton berita pagi di televisi mengenai perang abadi di Gaza itu. Saya ingin tahu, bagaimana sekian puluh atau sekian ratus kehidupan yang dipinjamkan kepada sekian puluh atau sekian ratus orang itu ditagih oleh yang punya hidup dengan kobaran api dari meriam dan bom. Saya ingin tahu.

Pagi harinya, karena kesibukan kerja di kantor, saya malah tak sempat membaca koran atau nonton televisi. Sampai siang, sampai tiba-tiba saya teringat pesan pendek di handphone itu dan saya bacakan di depan beberapa teman di ruang kerja. Saya baca keras-keras pesan pendek itu dengan harapan ada teman yang memberi reaksi misalnya bersedih. Tapi tidak. Ternyata tak ada yang kaget apalagi sedih. Mungkin karena sebelumnya mereka sudah membaca koran atau menonton televisi, atau mungkin mereka sudah bebal dengan kabar perang abadi di Gaza itu sehingga mereka menganggap pesan pendek itu tidak berarti apa-apa. Atau juga mungkin karena mereka semua jauh lebih hebat dari saya sehingga hal-hal semacam kecelakaan, kematian, perang atau sebangsanya adalah sesuatu yang biasa-biasa saja.

Petang hari kembali di rumah, saya makan malam dengan seekor kucing dan dua ekor anjing yang entah kenapa beberapa hari ini manja sekali dengan saya. Persis di depan saya makan, sebuah stasiun televisi nasional menayangkan berita mengenai perang abadi di Gaza itu – yang mana bagi saya kedua belah pihak yang bertikai itu sama absurdnya. Layar televisi menampilkan gambar-gambar kobaran api, letusan gedung dengan asap hitam membubung, seorang bapak meratapi kematian keempat anaknya, beberapa ibu juga meratap, serdadu yang berlarian, teriakan menyebut Tuhan, dan seterusnya. Lalu gambar di layar televisi berubah. Kini tentang gempa bumi dengan korban dan ribuan pengungsi yang juga menderita lahir batin di Manokwari. Lalu gambar berubah menjadi banjir di berbagai kota dan kawasan. Lalu berubah lagi dengan gambar badai salju. Lalu berubah lagi dengan gambar pengadilan seorang koruptor. Lalu berubah lagi dengan gambar-gambar para politikus dan pembesar negeri yang selalu nampak sibuk. Lalu...

Saya, seekor kucing jantan dan dua ekor anjing itu terus makan sampai nasi kami sama-sama habis. Lalu kami berdoa bersama-sama: “Ya, Tuhan, hidup ini memang pinjaman dariMu. Jadi silahkan ambil kapan saja dengan cara apa saja sebijakMu. Kami siap untuk apapun!” Lalu saya mencuci tangan. Seekor kucing dan dua ekor anjing itu juga pergi entah ke mana. Siap untuk apapun! Tak ada yang perlu diberatkan. Apalagi perang abadi nan absurd di Gaza itu! Maaf!

nanoq da kansas

10 komentar:

Miss G mengatakan...

Hmmmmmm..... saya panjang sekali membaca ini, lalu saya ikut merapal doa itu, mengetik komentar ini dan klik poskan komentar, lalu akan melanjutkan blogwalking ke blog berikutnya.

Anonim mengatakan...

setuju, mas.. nyawa kita cuma titipan.. kita harus siap untuk apapun, yang ujung2nya adalah siap untuk menghadap Yang Kuasa..
sebenarnya hidup kita hanyalah perjalanan untuk mencari bekal yang baik untuk mati..

Anonim mengatakan...

Perang diri sendiri saja nggak kelar2, gimana bisa lari-lari. Mohon dukungan untuk pembuatan taman baca bang. Makasih. Juga untuk review antologi pertama nih... ditunggu emailnya.

TAMAN HALAMAN mengatakan...

Jadi sedih setelah baca tulisan diatas
Kita harus SIAP untuk APAPUN... bener banget tuch bli sama sepeti apa yang aku terima hari ini.
Aku harus siap mutasi ke BALIKPAPAN akhir bulan ini...
Apapun itu kita harus benar2 SIAP.

Unknown mengatakan...

aku yang gak siap....Taman Halaman..?

Anonim mengatakan...

Tulisannya bagus. Bijaksana.Aku sangat senang sekali membaca tulisan yang membuat diriku sejuk. Karena beberapa hari ini aku bingung.Ada perang dimana-mana(sampai dunia maya).Tulisan ini yang aku tunggu-tunggu.

Ratu Gumelar mengatakan...

Aku kok ya bingung...

Yang namanya ber'pulang', bukannya harus disambut dengan suka cita...

Lha wong justru balik ke asal, ke yang empunya jiwa, ke sejatinya cinta, yang dirindu dan dicari kemana-mana..

Anonim mengatakan...

to RATU GUMELAR:
ya, begitulah paradoksalnya manusia. di satu sisi dengan gagah berkata bahwa mati adalah berarti PULANG KE ASAL, tapi di sisi lain kematian menjadi begitu berat dan menyedihkan bahkan menakutkan sehingga dihindari dengan berbagai upaya. Kenapa ya? Ah, begitulah kita: MANUSIA :)

Anonim mengatakan...

Hehehehe... bukan... sama sekali bukan karena gagah-gagahan.
Dua sisi manusia: 'kesadaran' dan 'ego' mempunyai interest yang berbeda.

Ego' atau 'nafs' mengukur eksistensinya pada 'kepemilikan' atas apapun - bentuk fisik, kekayaan, jabatan, harga diri, cinta, hubungan, achievements, bahkan waktu dan nyawa. Karena itulah saat segalanya menyusut, berkurang atau hilang, sang ego akan kebakaran jenggot berusaha mempertahankan mati-matian; atau setidaknya uring-uringan, karena menganggap berakhirnya segalanya adalah juga berakhirnya eksistensinya.

Di sisi lain, 'kesadaran' alias hati nurani atau sejatinya 'jiwa' dan 'ruh' sadar betul bahwa 'segalanya' sejatinya adalah 'atribut' yang 'dititipkan' oleh Yang Maha Punya - baik yang sudah 'dari sananya' seperti bakat, talenta, dsb ataupun yang 'diusahakan' seperti pengetahuan, prestasi, kekayaan, jabatan, dsb. Yang dilakukannya adalah menghargai, mensyukuri dan mempergunakan segala titipan dengan sebaik-baiknya, sebagai 'tanda cinta' dari Yang Empunya cinta.
Eksistensi dari sang 'kesadaran' adalah Sang Asal; Sang Sumber; Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sang 'ego' dan 'kesadaran' memang bertolak belakang. Masalahnya, kita lebih sering didominasi dan dirajai oleh Sang 'ego', karena dia punya senjata dan antek-antek yang ampuh berupa 'thoughts' atau 'pikiran'.

Sedangkan sang 'kesadaran' hanya muncul sekali-sekali karena 'ego' dan 'thoughts' tidak akan membiarkannya muncul di permukaan. Sang 'kesadaran'lah yang membersitkan rasa bersalah ketika kita melakukan sesuatu yang melenceng dari jalurnya. Pun jika kita dihantui kegelisahan dalam hidup sambil ngga tau kenapa sebabnya - itu adalah bentuk pencarian 'kesadaran' atas 'Asal' dan 'Sumber'nya...

Duh.. kok aku nulis di sini panjang sekali, ya... Mohon maaf jika tidak berkenan, Mas..
Tapi aku memang sudah rencana menulis pembahasan ini di blog-ku. Terinspirasi dari buku-buku karyanya Eckhart Tolle :)

habbats mengatakan...

Terima Kasih sudah posting artikel yang bermanfaat. Semoga Sukses dan Silahkan Klik Tautan Dibawah Ini
MaduHabbatussaudaJual Minyak HabbatussaudaMinyak ZaitunProduk HabbatsProduk HerbalObat HerbalHabbatussauda Dosis TinggiHabbats.co.idHabbatsAozora Shop Onlinetoko onlineJual Baju AnakJual Baju BayiJual Baju DewasaJual Sepatu BayiJual Sepatu anak AnakJual Sepatu DewasaJual Perlengkapan BayiJual Perlengkapan Anak AnakJual Perlengkapan DewasaTupperwareTupperware MurahTupperware UpdateTupperware Bandung juaraJual TupperwareKatalog TupperwareJual Online TupperwareTupperware ResepTupperware katalog baruRaja Tupperware BandungCollection TupperwareMadu Anak SuperMadu Anak CerdasJual Madu Anak SuperPusat Jual Madu Anak SuperJual Madu SuperMadu Anak SuperJual Madu AnakToko Madu AnakAgen Madu Anak SuperDistributor Madu Anak Super

Posting Komentar