Pendidikan Di Titik Nol

Fakta menyodorkan, dunia pendidikan Indonesia hingga hari ini belum juga menemukan bentuk idealnya. Proses pendidikan hingga saat ini masih berada dalam proses eksperimentasi yang konyolnya justru sering mengorbankan esensi dari pendidikan itu sendiri. Proses belajar-mengajar di sekolah bahkan seringkali masih dikorbankan oleh kepentingan-kepentingan lain semisal politik atau kepentingan ekonomi.


Ketika bicara pendidikan, tentulah tidak selesai hanya dari sisi luar secara fisik semata. Esensi pendidikan justru berada di “dalam”, mulai dari dalam kompleks gedung sekolah, dalam kelas, hingga apa yang ada di dalam diri para tenaga pendidik alias guru, apa yang ada di dalam diri para peserta didik alias para siswa, serta apa yang ada di dalam benak masyarakat untuk merespon keberadaan dan keberlangsungan pendidikan itu sendiri.

Hal yang tidak kasat mata inilah yang sejatinya justru jauh lebih esensi dari segala fasilitas yang selama ini dijadikan nomor satu dalam keberlangsungan pendidikan kita. Sekedar contoh, sebuah sekolah boleh saja memiliki fasilitas gedung mewah dengan sistem belajar-mengajar terkomputerisasi atau serba menggunakan IT. Tetapi jika semua itu pada akhirnya tidak menghasilkan output yang mampu merespon dinamika kehidupan riil yang ada di masyarakat, sebuah pendidikan tetaplah sia-sia.

Sementara itu yang disebut dinamika kehidupan masyarakat tidaklah pernah berhenti dan mau menunggu untuk menyesuaikan diri dengan output sekolah. Dalam konteks negatif, kerusakan lingkungan, kemiskinan, dekadensi moral dan berbagai krisis sosial dan politik, terus menerus bergulir melampaui nilai-nilai moral standar yang dicekokkan kepada peserta didik di dalam kelas. Maka betapa tak berdayanya para siswa dan generasi muda tamatan sekolah kita hingga saat ini ketika mereka harus terjun ke masyarakat. Bahkan secara ekstrem, banyak siswa dan mahasiswa yang takut tamat karena belakanagan mereka menyadari betapa tak berdayanya pengetahuan dan keterampilan mereka ketika berada di luar sekolah atau kampus.

Dalam konteks positif, berbagai kemajuan yang terjadi di luar gedung sekolah juga selalu membuat terkesiap generasi muda setamat sekolah atau kuliah. Mereka terkaget-kaget dengan berbagai fakta “kemajuan” yang tak pernah mereka terima dalam kelas. Pelajaran Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, dan jenis-jenis eksak lainnya yang mereka terima di kelas, ternyata tak berarti apa-apa bahkan ketika mereka menghadapi kenyataan di sebuah toko mainan anak-anak.

Pelajaran Sejarah, Sosiologi, Tata Negara dan sejenisnya yang diberikan guru dan yang ada di buku-buku pelajaran, ternyata tak berari apa-apa ketika berhadapan dengan dinamika sosial budaya masyarakat di luar kelas. Tak mampu mendorong responsibilitas generasi muda atas berbagai fenomena kemajuan jaman. Satu contoh sederhana, ketika pelajaran Sejarah dan Tata Negara di kelas masih berkutat dengan hapalan nama-nama pahlawan, nama-nama menteri, fungsi lembaga-lembaga tertinggi negara, di luar kelas mereka telah dilakukan berbagai amandemen undang-undang ketatanegaraan oleh para elit dan penguasa. Pada tataran praktek, maka apa yang baku yang ada dalam buku pelajaran ilmu-ilmu sosial dan ketatanegaraan di kelas pun sudah menjadi sesuatu yang ketinggalan atawa kedaluwarsa.

Doktrinasi dalam pendidikan
Praktek doktrinasi dalam dunia pendidikan kita saat ini pun masih berlaku. Parahnya, doktrinasi itu justru datang dari lembaga-lembaga di luar dunia pendidikan seperti lembaga kekuasaan, lembaga politik dan lembaga ekonomi. Sejak berlakunya otonomi daerah di mana manajeman pendidikan di daerah digabung ke dalam jajaran birokrasi pemerintahan, manajeman pendidikan tidak lagi murni berada di bawah departemen tetapi berubah status menjadi “dinas”, otoritas lembaga ini pun terhapus secara fungsional. Dinas pendidikan hanya berfungsi untuk menjalankan perintah dari kekuasaan. Manajeman pendidikan di daerah-daerah kehilangan inisiatif sekaligus kehilangan hak manajemannya sendiri.

Sejak era otonomi daerah diberlakukan di tanah air tercinta yang katanya demokratis ini, sekolah pun tiba-tiba diklaim sebagai “wilayah jajahan politis” birokrasi kekuasaan. Maka tidak sedikit sekarang kepala sekolah yang menjadi penuh ketakutan di wilayahnya sendiri. Takut karena ada hantu yang bernama kekuasaan yang bisa saja datang tiba-tiba dengan otoritas kekuasaannya. Tidak sedikit kepala sekolah dan guru-guru yang menderita “phobia kekuasaan”. Runyamnya, ada kepala sekolah yang ketakutannya berlebihan, sampai-sampai menyusun program kerja sekolah saja tidak bisa. Bukan tidak bisa sebenarnya, tetapi berhati-hati secara berlebihan karena takut disalahkan penguasa.

Partisipasi yang mati
Di era otonomi daerah ini, partisipasi masyarakat kepada dunia pendidikan juga mengalami degradasi yang parah, bahkan terbunuh tanpa alasan. Dari media massa, begitu seringnya kita disuguhi berita tentang robohnya sebuah sekolah, tentang hancurnya fasilitas sekolah semacam laboratorium, perpustakaan dan sejenisnya karena sudah kedaluwarsa, tentang mahalnya buku-buku pelajaran.

Hal yang tidak seharusnya terjadi di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini, bisa terjadi tiada lain adalah akibat dari matinya partisipasi masyarakat kepada dunia pendidikan. Karena pemerintah (daerah) terlanjur memposisikan diri sebagai pengatur segala hal di wilayah pendidikan, maka masyarakat pun menjadi apatis. Melihat gedung sekolah sudah tua dan bocor, melihat perpustakaan sekolah kosong melompong tak punya buku, masyarakat tak peduli. Mereka berpikir semua itu toh sudah dipikirkan pemerintah. Pihak sekolah pun tak berani berbuat banyak misalnya meminta sumbangan kepada para wali murid dan masyarakat di sekitarnya, karena takut dikatakan melakukan pungutan liar.

Jika mau jujur melihat kondisi dunia pendidikan yang ada saat ini, sudah sepatutnya semua pihak terutama pemerintah untuk melakukan evaluasi. Setidaknya, ego untuk tampil menjadi sentral dengan memasuki segala sisi dunia pendidikan, sudah harus diakhiri. Sudah sering disinggung dalam berbagai forum, bahwa dunia pendidikan itu ibarat mata air. Jika mata air itu direcoki dengan arogansi pemerintah berikut aspek-aspek yang mengikutinya seperti aspek politik, ekonomi (dengan dalih efisiensi), dan aspek-aspek lainnya, maka mata air itu pun akan menjadi keruh. Maka dari itu pula, dengan mudah dapat ditebak, generasi macam apa yang akan lahir dari sistem pendidikan yang keruh dan carut-marut?

nanoq da kansas

9 komentar:

-Gek- mengatakan...

Benar itu Bli, tapi saya bersyukur tetap di jalan saya. Kuliah di IKIP Singaraja, sekarang masih Guru. :)

TrickStory mengatakan...

betul. Mata air itu harus dijaga...

Sigit Purwanto mengatakan...

apa jangan2 aku juga korban pendidikan yang carut marut ya..hmm sepertinya tidak, tapi mungkin juga..tiap tahun selalu ada perubahan, yang mengharuskan ini dan itu. wah aku sebagai siswa, dulu sangat tertekan oleh bayang2 lulus atau tidak,tapi akhirnya lulus juga walau nilainya jauh dari kata bagus.

semoga usaha untuk menghapus ujian nasional bisa berhasil, supaya tidak lagi ada korban berjatuhan. memang sulit untuk dibenahi jika masih ada pihak yang main duit, tapi apa salahnya untuk mencoba sesuatu yang baru dan dipertahankan bukan setiap episode selalu berganti sistem baru, itu sama saja menjadikan generasi muda seperti kelinci percobaan sistem pendidikan. entah berdalih kegagalan dari sistem akhirnya diganti lagi..

pesen aja buat temen2 yang sedang menempuh pendidikan, belajar dengan sebenar benarnya..usahakan gali keterampilan atau pelajaran yang disukai, perdalam bidang yang dipunya..supaya nanti bisa memberi kontribusi untuk negara dan masyarakat luas, bukan menyalahkan staf pengajar apa bila kita belum dpt kerja atau berhenti ditengah jalan. karena semua itu adalah usaha kita sebagai pelajar, bukan usaha pengajar, mereka hanya membantu, menuntun kita selebihnya usaha sendiri..

mari terus berjuang..

Seti@wan Dirgant@Ra mengatakan...

Kondisi pendidikan kita saat ini begitu menyedihkan. Ada banyak hal yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan kita ini, mengingat pendidikan adalah investasi masa depan bangsa dan pengaruh dinamis terhadap perkembangan jasmani dan rohani.

Kalau dikerucutkan lagi, tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang didasari atas usaha sadar dan terencana untuk mencetak generasi yang beriman dan bertaqwa. Pertanyaannya, apakah sistem pendidikan kita sudah mengarah ke sana?

Banyaknya masalah yang menyelimuti dunia pendidikan kian melebarkan jarak antara pelaku pendidikan dengan masyarakat sebagai stakeholder.

Kendati banyak program yang dimunculkan sebagai usaha mendekatkan diri kepada masyarakat, pada realitanya mandek. Anehnya, program seperti sekolah gratis justru dijadikan komoditi mengeruk keuntungan sebagian besar oknum.

Sebagai regulator, Dinas Pendidikan pun kurang memberikan peluang kepada terciptanya iklim pendidikan yang kondusif. Disdik malah sering kena batu terkait dengan pelbagai persoalan yang melibatkan sektor pendidikan, seperti pengadaan buku paket, penerimaan siswa baru dan pungutan di luar ketentuan yang ada.

Jika mau jujur, permasalahan yang saat ini menggelayuti dunia pendidikan tak ubahnya mencari jarum di tumpukan padi. Butuh kerja keras dan kejujuran untuk mengurai satu per satu permasalahan yang ada.

Konsep pendidikan akan lengkap manakala Dinas Pendidikan sebagai induk memahami berbagai perencanaan program pendidikan nasional, provinsi dan kota/kabupaten serta mampu mengaplikasikan peran masing-masing bidang demi memajukan dunia pendidikan.

Pada akhirnya, korban dari semua masalah yang ada adalah masyarakat. Elemen yang selalu dijadikan sasaran pelbagai kepentingan.

Disamping itu Guru terkadang menjadi kambing hitam rendahnya mutu pendidikan suatu daerah.

Saya bersyukur selama 20 tahun menggeluti profesi sebagai Guru, sudah banyak yang saya dapatkan, namun kalau direnungkan belumlah seberapa yang saya bisa berikan....

salam sukses selalu sobat.

Kika mengatakan...

Haduh ngeri banget itu bang.
Memang benar, semua harus dari dalam dulu.

Arsyad Indradi mengatakan...

Ketika penataran KTSP SMP Tingkt.Nasional di Yogyakarta thn 2004,aku pernah mengusulkan agar Disdik dikembalikan kepada Departemen Pendidikan.Beberapa argumentasi kukemukakan dan usulku banyak didukung oleh peserta se Indonesia,namun dari Pusat tidak dapat memberi jawaban yang memuaskan,cuma banyak berkata "ditampung". Bagaimana akan baik dunia pendidikan kalau pemimpinnya bukan akhlinya.Katakanlah Kepala Dinasnya.Bil,sesungguhnya sistem pendidikan ini perlu dibenahi.Aku sedih dan iri melihat bagaimana majunya pendidikan negara tetangga yang pernah kulihat seperti Malaysia dan Singapura.Demikianlah Bil,sekarang ini aku cuma dapat melihat dari garis luar saja sebab aku sdh purna tugas.35 tahun aku mengabdikan diri di dunia pendidikan.Dari guru,kepsek dan terakhir pengawas madya.Airmataku berlinangan menyaksinakan kondisi siswa SMA/Kejuruan bergelimpangan belum dinyakan lulus,harus mengulang dan susulan pada UN tahun 2010 ini. Bil,salam sastra.

Spanish Rehab mengatakan...

Hi,
You have post good information.

habbats mengatakan...

Terima Kasih sudah posting artikel yang bermanfaat. Semoga Sukses dan Silahkan Klik Tautan Dibawah Ini
MaduHabbatussaudaJual Minyak HabbatussaudaMinyak ZaitunProduk HabbatsProduk HerbalObat HerbalHabbatussauda Dosis TinggiHabbats.co.idHabbatsAozora Shop Onlinetoko onlineJual Baju AnakJual Baju BayiJual Baju DewasaJual Sepatu BayiJual Sepatu anak AnakJual Sepatu DewasaJual Perlengkapan BayiJual Perlengkapan Anak AnakJual Perlengkapan DewasaTupperwareTupperware MurahTupperware UpdateTupperware Bandung juaraJual TupperwareKatalog TupperwareJual Online TupperwareTupperware ResepTupperware katalog baruRaja Tupperware BandungCollection TupperwareMadu Anak SuperMadu Anak CerdasJual Madu Anak SuperPusat Jual Madu Anak SuperJual Madu SuperMadu Anak SuperJual Madu AnakToko Madu AnakAgen Madu Anak SuperDistributor Madu Anak Super

bandar bola mengatakan...

Thanks atas sharing nya :)

Agen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola
Agen Bola

Posting Komentar