Ngomongin Tuhan

SAYA dan Tuhan ndak pernah saling ketemu. Tapi yang pasti, kami sama-sama saling sayang. Maka seringkali kami sama-sama diam sambil mengurus diri sendiri.

Saya sembahyang di kamar, Tuhan sibuk di Timur Tengah mengurus orang berperang. Sembahyang saya hanya didengarnya selintas karena Dia keburu melesat mengejar barisan tank buatan Amerika yang menuju sebuah bukit di perbatasan kota. Barangkali Dia sampai terengah-engah karena jalan yang terjal dan berpasir tebal. Dan apa lacur, Dia terlambat menyumpal moncong laras yang hitam panjang itu. Serentetan peluru ukuran besar-besar pun melesat menghantami dinding-dinding kota di negara minyak yang sepanjang tahun membakar diri itu. Jerit tangis anak-anak dan para ibu yang tertimpa serpihan dinding dan kepingan peluru memenuhi udara malam tanpa cahaya lampu.

Saya ke tempat ibadah, tapi hari itu Tuhan sedang ndak di tempat. Ada urusan kecil di Tepi Barat. Entah kenapa di tempat yang diyakini sebagai salah satu tanah suci bagi orang-orang yang beragama dengan ketat itu, orang-orang justru selalu ndak bisa berdamai. Kayak anak-anak kecil saja. Kadang-kadang pura-pura akur, tetapi di kesempatan lain tanpa ujung pangkal mereka berkelahi saling tembak. Lalu mereka sama-sama mengadu kepada entah siapa minta didamaikan. Sudah mau didamaikan, eh, besoknya musuhan dan berkelahi lagi. Yang mengherankan, mereka yang sama-sama berkelahi itu suka sekali mencari sasaran yang sama sekali ndak ada sangkutpautnya dengan perkelahian mereka. Masak sekolah saja mereka bakar. Masak pasar mereka bombardir. Masak pemukiman penduduk sipil mereka ledakkan.

Saya menanam padi, jagung dan ketela, tapi Tuhan ndak sempat membantu bikin hujan. Dia sibuk menyimak orang-orang besar membikin partai di Jakarta. Dia sibuk mendengarkan para elit politik, elit agama, elit ekonomi berkampanye untuk memenangkan salah seorang calon presiden. Lalu Dia sibuk memantau pemerintah menyusun kabinet. Kemudian Dia sibuk membuktikan program kejutan dari pemerintah yang baru. Dia tambah sibuk lagi nungguin unjuk rasa yang terjadi setiap hari di Bundaran Hotel Indonesia itu. Selesai demo yang ini, datang lagi demo yang itu. Selesai demo yang itu, datang lagi demo yang lain. Ah, Dia sampai berkeringat dan ndak sempat mandi hanya demi menjaga agar jangan sampai yang berdemo itu ada yang ditembak lagi oleh aparat. Maka ketika saya menanam padi, jagung dan ketela, Dia lupa menurunkan hujan. Kemarau panjaaaaang sekali. Desa-desa di pedalaman kekeringan. Sumur-sumur untuk sedikit air bersih buat minum saja susah setengah mati. Tapi untung jugalah padi-padi yang saya tanam itu bertahan. Lumayan subur dan berbuah banyak. Saya senang sekali. Tapi ketika dipanen, eh, ternyata ndak laku dijual. Harga gabah muraaaaaah sekali. Padahal ongkos sewa traktor dan biaya beli pupuk minta ampun mahalnya.

Saya sedang ditugasi pemerintah untuk mendukung dan melaksanakan program-program pembangunan yang sedang dijalankan. Tapi Tuhan ndak sempat menemani. Dia asyik nonton sinetron-sinetron penuh lipstick di televisi. Ada banyak orang yang marah dengan ulah para tukang bikin sinetron yang mengajak rakyat Indonesia mengeksploitasi mimpi melulu. Sementara itu sumber-sumber daya alam sudah keburu habis dibor dan dieksploitasi oleh orang-orang yang entah siapa dan entah untuk apa. Maka ketika calon-calon independen sudah siap mengikuti pemilihan kepala daerah secara langsung, eh tiba-tiba ada kabar justru peraturannya yang belum rampung. Padahal sudah banyak calon independen yang berkorban segala-galanya untuk merebut hati rakyat. Dan dari hal ini, setidaknya rakyat juga ikut senang siapa tahu nanti ikut kecipratan money politics dari para calon kepala daerah yang penuh nafsu itu.

Saya baru saja akan ikut ujian akhir nasional tahun di penghujung tahun ajaran dengan kurikulum berbasis kompetensi ini. Saya bilang sama Tuhan agar dikasi kepintaranlah sedikit biar bisa lulus lalu melanjutkan sekolah di mana begitu. Tapi Dia kembali ndak di tempat karena harus menangani kasus-kasus korupsi di masa lalu yang dilakukan para elit pemerintahan yang lalu. Dia sibuk ikut mengejar para mantan anggota DPRD, gubernur, bupati, jaksa, mantan polisi, hanya untuk sekedar dipenjarakan tetapi tidak akan pernah membuat pejabat baru lainnya bisa belajar tobat untuk tidak meniru prilaku pendahulunya itu. Dia juga mendadak disibukkan oleh orang-orang terjangkit penyakit demam berdarah, flu burung, busung lapar, AIDS, di hampir seluruh kota-kota besar hingga pedalaman di tanah air. Sementara itu kota-kota juga mendadak kebanjiran padahal hujan hanya beberapa jam. Jentik-jentik nyamuk yang hendak dibasmi malah kini dapat tempat sembunyi yang lebih leluasa. Maka masalah pendidikan pun jadi terbengkalai. Ada pendapat yang berbeda di antara para pemegang kebijakan. Yang satu bilang ndak perlu ujian nasional, yang lain ngotot bilang perlu. Pak dan Bu Guru saya di sekolah yang jadi korban. Bawaannya binguuuuung melulu. Maka kami pun para siswa mendapat banyak hal yang ndak terpahami. Kami masih bertanya-tanya sesama teman, masak ada murid tamat tetapi tidak lulus. Jadinya gimana? Ah, ah, ah!

Saya mau buka usaha kecil-kecilan di kampung. Mumpung ada modal dari tabungan saat bekerja di luar negeri. Daripada saya kembali ke luar negeri jadi TKI dan terus mendapat masalah serta dikejar-kejar berbagai pihak, saya berniat jualan nasi goreng saja di perempatan kampung. Begitu selesai bikin rombong buat jualan, saya berniat mengajak Tuhan selametan syukuran sebelum esoknya mulai berjualan. Tapi lagi-lagi Tuhan sedang sibuk dengan kepanikan yang tiba-tiba terjadi di masyarakat gara-gara kenaikan harga BBM, lalu bahan-bahan makanan mengandung formalin, borax dan zat-zat kimia lainnya yang namanya begitu asing. Hh...

Saya mau anu, tapi Tuhan ndak..., ah begitulah. Saya dan Tuhan sering ndak dapat bekerjasama. Bahkan kami kebanyakan saling cuek. Masing-masing mengurus diri sendiri dan ndak sempat saling sapa. Tapi yang pasti, kami sama-sama saling sayang dan ndak pernah merasa perlu terlalu saling merisaukan dan pura-pura saling membela secara berlebihan. Kami biasa-biasa saja!


4 komentar:

Kemala Astika mengatakan...

sepakat !!!!

Dadap mengatakan...

betul... cara mengungkapkan sayang yang sepaham... tapi tidak dengan pacarku... sayang selalu diartikan dengan bertemu setiap hari... sms setiap waktu...

kenapa (semua) wanita (yang pernah mendampingiku) tak meniru tuhanmu mas...

Subagya mengatakan...

Hmmmm.... om , Tuhan ga pernah sibuk lho, masih bisa mendengar doa Hamba-hambaNya.

Sang Lintang Lanang mengatakan...

....Entah kenapa di tempat yang diyakini sebagai salah satu tanah suci bagi orang-orang yang beragama dengan ketat itu, orang-orang justru selalu ndak bisa berdamai...

(konon) Sugmund Freud pernah bilang, 'keberadaan agama pada jaman dahulu memang berarti penting. namun di hari ini, agama ternyata tak mampu meredam kelahiran fundamentalisme'.

sementara filsuf agnostik Bertrand Russel (konon) juga pernah berkata, 'kapanpun, agama adalah sesuatu yang berbahaya'

:) salam...

Posting Komentar