Kasihan benar Heru – sebut saja namanya demikian. Siswa dari sebuah SLTA negeri ini kelimpungan menjelang tamat. “Kalau ada kesempatan, berilah saya pekerjaan. Biar jadi tukang sapu saya mau. Soalnya saya perlu mengumpulkan duit buat persiapan kuliah nanti. Saya takut sekali kalau tidak bisa kuliah. Mau jadi apa saya nanti. Bahkan rasanya saya tidak ingin tamat,” katanya tanpa basa-basi.
Saya jadi teringat seseorang, Si Blewah julukannya. Tahun lalu teman dari sebuah desa di timur kotaku ini juga sama seperti Heru. Kelimpungan sana-sini menjelang tamat. “Semakin dekat hari kelulusan, semakin panik juga rasanya. Soalnya saya tak tahu nanti mau ke mana. Mau kuliah, jelas-jelas orang tua tak mampu. Tinggal di rumah saja, malu sama tetangga. Mau kerja di kantor atau perusahaan, kerja apa dengan ijasah SMA saya?” ujarnya dengan muka mura.
Fenomena ini adalah sesuatu yang sudah begitu klise. Rasanya sudah bosan kita mendengar keluhan anak-anak muda yang kebingungan setelah tamat, terutama bagi mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu. Lain halnya dengan yang berada, jauh-jauh hari sebelum tamat SLTA bahkan mereka sudah memilih di perguruan tinggi mana akan kuliah. Bahkan tidak sedikit juga di antara mereka, begitu menentukan sebuah perguruan tinggi di suatu kota, orang tuanya sudah langsung memesankan tempat tinggal atau beli rumah sekalian.
Ironisnya, Heru dan Si Blewah justru adalah realitas terbesar di kalangan tamatan SLTA kita, paling tidak dari mereka yang menjadi teman atau sahabat saya selama ini. Ternyata, tidak cukup banyak dari mereka yang kaya atau punya kemampuan secara ekonomi untuk mendukung cita-cita mereka melanjutkan studi di kemudian hari. Terlebih-lebih lagi di jaman globalisasi ini, di mana biaya kuliah melambung tinggi dengan kebijakan penerapan otonomi di setiap perguruan tinggi.
Pertanyaannya, apa sih pangkal dari timbulnya rasa takut setelah tamat SLTA tersebut? Kenapa semua orang begitu tak percaya dengan kemampuan mereka walaupun sudah mengantongi ijasah SLTA (SMU, SMK, MAN dan sejenisnya)? Kenapa mereka merasa tidak siap terjun ke dalam kehidupan mandiri tanpa harus melanjutkan ke bangku perguruan tinggi? Jawabannya, ternyata mereka memang merasa tak mendapatkan apa-apa di bangku sekolah. Selain teori, rumus, dan berbagai hapalan, para alumnus SLTA sama sekali tak tahu apa-apa untuk terjun ke dalam realitas kehidupan setelahnya. “Bahkan untuk menjadi pelayan toko, kita juga masih planga-plongo,” demikian pengakuan seorang remaja putri tamatan sebuah SMEA (SMK).
Jawaban lainnya adalah bahwa di jaman serba canggih ini semua jenis pekerjaan membutuhkan tenaga kerja yang mengantongi titel kesarjanaan. “Coba saja lihat iklan lowongan kerja. Pasti ada embel-embel S-1 atau diploma. Jadi, bagaimana pun juga kuliah itu syarat utama untuk memperoleh pekerjaan yang layak,” demikian seorang siswa lain mengeluh.
Saya tidak menolak sama sekali argumen ini. Memang, saat ini dan ke depan nanti setiap pekerjaan membutuhkan SDM yang benar-benar profesional di bidangnya. Tetapi mau apa lagi kalau toh ternyata tidak semua orang beruntung bisa melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang sarjana yang konon lebih bisa dipercaya ke-profesional-annya. Maksud saya, kenapa pendidikan setingkat SLTA kita ternyata hanya mampu melahirkan generasi yang bingung, bahkan cengeng?
1 komentar:
inilah bentuk sistem pendidikan di indonesia...pendidikan yang hanya sekedar rutinitas saja...tapi tidak mencetak setiap peserta didiknya untuk siap masuk ke dunia kerja...jangankan SMA, saat ini saja sarjana yg telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi saja, menurut saya masih yang menjadi pengangguras...jd apa pentingnya pendidikan kl hanya bisa mencetak pengangguran setiap tahunnya....
Posting Komentar