Ber-Salah

Barangkali bagian yang paling kurang menyenangkan dalam kehidupan manusia adalah ketika dia “ber-salah”. Beda sekali dengan misalnya dia “ber-punya”, “ber-untung”, “ber-cinta”, “ber-teman”, “ber-pangkat”, “ber-kuasa”, “ber-anak”, “ber-main”, “ber-sepatu”, “ber-pelukan”, “ber-canda”, “ber-titel”, “ber-tamu”, “ber-keluarga”, “ber-agama”, “ber-tuhan” dan seterusnya.

Tapi kenapa di antara sekian “ber”itu harus ada kata ber-salah? Adakah salah itu juga ciptaan Tuhan? Adakah ber-salah itu adalah ciptaan agama? Adakah ber-salah itu ciptaan kebudayaan? Adakah ber-salah itu hanyalah ciptaan manusia saja? Atau adakah ber-salah itu sesungguhnya hanya ciptaan seseorang saja? Apa sih ukuran ber-salah itu?

Entah bagaimana mulanya, bahwa bersalah lawannya adalah benar. (Saya tidak tahu apakah ada istilah “ber-benar”?). Apa sih ukuran benar itu? Adakah salah dan benar punya ukuran? Kalau ada, siapa yang membuat ukuran itu? Di mana ukuran itu berada? Seberapa akurat takarannya?

Dan ketika seseorang dinyatakan bersalah, betapa kemudiam setiap orang yang ada di sekelilingnya langsung merasa benar. Setiap orang lantas bicara soal kebenaran. Setiap orang seketika menyodorkan ukuran kebenaran dari sudut pandang dan selera masing-masing. Setiap orang sekonyong-konyong memulai ucapannya dengan kata “seharusnya”. “Seharusnya dia begini!” “Seharusnya dia begitu.” “Sebagai anu, seharusnya dia tidak begitu tetapi seharusnya begini.”

Tapi pada saat yang sama, adakah orang-orang yang merasa sedang benar itu teringat pula bahwa kebenaran yang dia pegang justru ada karena ada orang yang dia persalahkan? Tanpa adanya orang yang dipersalahkan itu, kebenaran apa pula yang dapat dipegang? Betapa sejatinya salah dan benar hanyalah sebuah keutuhan dari sebuah kelengkapan, tak terpisahkan, karena keberadaan yang satu dengan yang lainnya saling berkait dan berketergantungan.

Yang ironis, ketika seseorang dianggap bersalah, setiap orang lain tiba-tiba justru merasa bahagia. Dengan histeria, orang-orang bergunjing, berbisik-bisik, tertawa, di atas kesalahan yang dilakukan orang lain yang notabene kaumnya sendiri. Seolah-olah, dengan adanya seseorang bersalah, orang lain mendapat tenaga baru untuk membuat hidupnya lebih hidup. Sementara itu pula, dunia pun secara mendadak dirubah settingnya untuk menutup segala pintu masuk bagi orang yang dianggap bersalah itu. Dunia hanya milik mereka yang merasa benar dalam dirinya sendiri. Ia yang bersalah adalah mahluk asing yang bahkan tak pernah mereka kenal sebelumnya.

Di sini, betapa dunia dan kehidupan menjadi tak seimbang. Dunia diposisikan hanya sebagai tempat orang-orang benar. Dunia dikaburkan hanya dengan satu warna yang bernama kebenaran. Tapi logikanya, bagaimana sesungguhnya kita dapat bicara soal kebenaran bila di depan kita tak ada sekeping cermin pun untuk memantulkan cahaya kebenaran itu sendiri? Adakah yang merasa benar itu sadar bahwa cermin itu sendiri adalah apa yang mereka sebut kesalahan? Maka sejatinya, eksistensi itu sendiri adalah rangkaian tak terpisahkan dari salah dan benar. Karena saya percaya, saya tak dapat hidup hanya di salah satu ruang itu saja.
nanoq da kansas

2 komentar:

Arjuna Valentino mengatakan...

entah, mungkin saya bersalah atau pula dibenarkan!, yang terpenting "aku yang pertama mosting di sini"...huuuahahaha!!

Atau mungkin dengan cara saya ketawa juga dipersalahkan oleh kalian!, dan aku pun tak perduli, yang jelas hatiku tidak pernah merasakan bersalah dengan apa yang telah aku lakukan.

Kemarin lalu aku ngegosip, dan merasa diri paling bersih, karena orang yang digosipin selalu terletak pada yang dipersalahkan dan senantiasa bersalah ngak ada benarnya,, hahahahaha

situs poker mengatakan...

mantap gan artikel nya :)

Agen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola

Posting Komentar