Negeri dengan Kemiskinan Bertubi

Dulu, satu permasalahan yang paling top yang dijadikan alasan kenapa bangsa Indonesia miskin, adalah bahwa karena negeri ini dijajah selama beberapa abad oleh bangsa lain. Dalam situasi dijajah, tentu sajalah bangsa ini tak pernah mendapat ruang gerak untuk memajukan diri di segala bidang, mulai dari pendidikan hingga perekonomian. Saat dijajah itu pula, bangsa ini dengan sengaja dibodohkan oleh kaum penjajah. Dibodohkan, tentu saja agar tetap bisa dibodoh-bodohin sehingga tak berdaya menggali modal sendiri untuk melakukan perlawanan. Karena bagaimana pun juga, perlawanan sudah pastilah memerlukan biaya. Kita tidak usah bangga mengatakan bahwa bangsa ini cukup bermodalkan bambu runcing saja sudah bisa merdeka. Itu jelas-jelas salah dan tidak masuk akal, dan merupakan sebuah kejumawaan yang semakin membodohkan. Buktinya kita dijajah sampai berabad-abad walau sepanjang abad itu pula kita menghunus-hunuskan bambu runcing ke hidung VOC dan tentara Nipon.

Ironisnya, sebuah alasan kenapa penjajah sampai datang menjajah negeri ini adalah, bahwa negeri ini kaya raya dengan potensi alamnya. Negeri ini adalah sebuah hamparan jamrud khatulistiwa yang di dalamnya menyimpan harta melimpah-ruah, mulai dari hutan, lembah hingga lautan. Kaya raya pokoknya! Itulah alasan para penjajah datang merampok berabad-abad.

Dan di tengah hamparan kekayaan itulah bangsa ini melakoni kemiskinannya sepanjang hayat. Bahwa, pun setelah negeri ini berhasil dimerdekakan oleh para pahlawan, yang artinya harta kekayaan yang ada di dalamnya juga berhasil kita kuasai kembali, toh kemiskinan atas bangsa dan rakyat itu tak kunjung berujung jua.

Negeri merdeka, tatanan pemerintahan yang diitikadkan bisa mengatur tata kehidupan bernegara dan berbangsa, terbentuk hingga ke tingkat rukun tetangga. Para pelopor baru, pejuang baru, pemimpin baru, semangat baru, etos kerja baru, memenuhi hamparan negeri merdeka ini. Slogan, moto dan kebulatan tekad untuk bersama-sama menjadi bangsa yang besar, terhormat dan makmur, setiap hari kita kumandangkan di langit khatulistiwa. Pendek kata, kita, bangsa ini, warga negara ini, sudah tidak kurang-kurang berihtiar untuk menjadikan negeri dan diri sendiri bernasib lebih baik setiap hari.

Tetapi nyatanya bangsa ini tetap miskin! Desa-desa tetap kumuh dengan warna buram debu dan lumpur tanpa mampu menghasilkan sesuatu yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia: sandang, pangan dan papan! Kampung-kampung masih saja dihuni oleh komunitas warga yang nyaris seratus persen hidup terbelakang, kusam dan dingin dengan otot dan otak layu sebelum berkembang, alias tak berdaya!

Kota-kota juga tak ada bedanya. Gedung-gedung berkaca mencakar langit dan jalan-jalan raya saling bertumpuk. Tetapi siapakah yang telah membangunnya? Dan untuk siapakah kemewahan itu dibangun? Ternyata bukan oleh dan untuk seluruh warga bangsa negeri ini! Tetapi itu hanyalah keberhasilan segelintir oknum-oknum anak emas negeri yang kebetulan dapat kesempatan baik. Semua itu bukanlah untuk negara dan bangsa secara utuh, melainkan hanyalah untuk kroni sekaligus pundi-pundi mereka sendiri. Buktinya, di bawah kemewahan gedung-gedung dan jalan raya, berdempetan dan bertumpuk gubuk-gubuk kardus sarang warga negara kelas kecoa yang jumlahnya jauh lebih besar daripada oknum-oknum anak emas negeri yang diberi nasib baik. Di antara kemewahan lampu-lampu merkuri kota, berdempetan dan bertumpuklah lapak-lapak kumal kaum urban dari desa, berjualan rokok cap jangkrik, bakso cap jangkrik, mie goreng dan mie rebus cap jangkrik, bir dan ganja cap jangkrik, sandal jepit cap jangkrik! Di emper-emper terminal, bertumpuk dan berjejal pula gembel, pengemis dan para tuna segala tuna. Setelah hampir seabad ikut hidup dan menjadi warga di negeri sendiri yang merdeka, mereka toh tetap tak berdaya!

Saban hari kita terkejut dan berteriak soal harga-harga kebutuhan hidup yang kian tak terjangkau. Saban hari kita terkejut dan terhimpit oleh hutang-hutang negeri dan tekanan-tekanan negara asing yang kian nyata. Setiap hari kita berteriak tentang korupsi tetapi tak ada gunanya. Para koruptor konon ditangkap dan diadili, tetapi toh negeri semakin bangkrut! Untuk beras, jagung, kedelai, daging, susu, sabun mandi, obat sakit kepala bahkan ikan asin saja kita harus impor dari negara tetangga. Kita tak mampu mengambil dan memanfaatkannya dari kekayaan negeri sendiri.

Setiap hari raya datang, kita terharu. Warga negeri yang merdeka ini selalu berebut tumpangan untuk bisa pulang berkumpul dengan keluarga. Kereta api tak pernah cukup. Bus-bus tak pernah cukup. Kapal-kapal feri tak pernah memadai. Pemerintah dan negara tak mampu memperbaiki sarana publik. Para cukong kapal terbang obral ongkos tiket. Tetapi itu hanya buat kroni tertentu. Bukan untuk warga kelas sandal jepit yang jumlahnya lebih dari separuh anak negeri.

Di kantor-kantor desa dan kelurahan seluruh negeri, bahkan warga tak bisa mendapatkan kartu identitas penduduk sebagaimana mestinya. Bukan karena apa, tetapi tak ada kertas buat formulir. Terpaksa KTP, Kartu Keluarga bahkan Kartu Kesehatan harus dijual. Tetapi toh warga kelas kecoa masih sulit mendapatkan identitas dirinya. Kini alasannya, karena mereka tidak berpartai!

Begitulah keadaan sebuah negeri dengan kemiskinan bertubi! Dan itu hanyalah sebagian kecil dari potongan-potongan slide film hitam-putih di langit khatulistiwa. Entah di mana negeri itu, di sini atau di tempat lain, tapi kita semua bisa merasakannya seperti merasakan hembusan napas sesosok drakula di tengkuk belakang leher kita, anak-anak negeri!
nanoq da kansas

2 komentar:

situs poker mengatakan...

mantap gan artikel nya :)

Agen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola

silvimargaret mengatakan...

Selamat Siang, Ijin Post Yahh bossku
Tunggu Apalagi Segera Daftar dan Depositkan Segera Di E D E N P O K E R . X Y Z
- Minimal Deposit 15.000
- Bonus New Member 10.000
- Bonus Next Deposit 5%
- Bonus Rollingan 0,5%
- Bonus Refferal 10% (Seumur Hidup)
REAL PLAYER VS PLAYER !!!

Posting Komentar