DR

Coba bayangkan, bagaimana jika anda adalah salah satu dari mereka yang disebut-sebut sebagai para penjarah hutan di kawasan Hutan Lindung Bali Barat?

Tetapi kira-kira anda akan punya alibi, atau setidaknya argumen, bahwa anda adalah warga miskin yang terpaksa tinggal di sebuah dusun yang tak jauh dari hutan. Kebun anda yang sepetak dengan tanaman pisang, tak lagi bisa dipanen karena terserang penyakit busuk batang. Anda juga punya beberapa puluh pohon coklat yang harga buahnya juga jauh lebih rendah dari harga pupuk di KUD. Maka anda akan mengatakan, bahwa hasil dari kebun anda itu tak pernah cukup untuk biaya hidup keluarga serta biaya pakaian sekolah anak anda yang tiga orang. Tak pernah cukup untuk uang dapur istri anda, cicilan televisi, cicilan VCD Player serta sesekali memasang judi togel. Tak pernah cukup untuk pengeluaran tambahan bila anda harus pergi kundangan ketika ada tetangga atau sanak keluarga punya hajatan. Tak pernah cukup untuk ongkos ketika anak bungsu anda yang berumur tujuh tahun masuk rumah sakit karena diare. Jadi, anda pun punya pembenar kenapa anda terpaksa ikut seorang juragan kayu kaya, pergi ke hutan menjadi tukang tebang sekaligus tukang pikul gelondongan-gelondongan kayu jati tersebut untuk dikumpulkan di gudang rahasia sang juragan.

Dan teman saya yang ini memang penjarah hutan. Sebut sajalah namanya DR. Tiga tahun sudah ia keluar-masuk hutan di kawasan Kecamatan Melaya, Bali Barat. Tapi dia bukanlah seperti anda yang punya kebun sepetak walau hasilnya tak pernah cukup. Teman saya ini masih lajang. Belum kawin karena umurnya paling banter baru dua puluh dua tahun, dan, maaf, wajahnya sangat jauh dari sebutan ganteng. Ditambah lagi dia dan keluarganya hanya hidup menumpang di sepetak kebun gersang milik orang kota. Hanya menumpang. Rumahnya yang berdinding kelabang don nyuh (anyaman daun kelapa), tak lebih bagus dari gubuk-gubuk sementara para pengangon bebek (penggembala itik) musiman di sawah-sawah.

DR ditinggal mati oleh bapaknya yang sakit ginjal. Diwarisi hutang biaya berobat di Rumah Sakit Sanglah Denpasar sebelum akhirnya pergi selamanya. Diwarisi seorang ibu yang tak bisa berbuat apa-apa selain menanak nasi dan menganyam ingke (semacam piring atau talam dari lidi daun kelapa). Diwarisi lima orang adik yang masih kecil-kecil karena sang ibu dulu alergi alat kontrasepsi KB. Semua alat kontrasepsi sudah dicoba, tetapi sang ibu dulu sakit melulu.

Dengan sekian warisan masalah, teman saya ini beruntung diambil dan diajak bekerja oleh seorang juragan kayu di Melaya. Badan dan semangatnya yang besar menjadi modal utama. Saban hari dia diajak masuk hutan, menebang dan mengangkut kayu. Sehari dia mendapat upah bisa sampai seratus ribu. Tapi sebelum menerima upah itu, DR diajak dulu main di kafe-kafe atau di sebuah lorong di kawasan Pelabuhan Gilimanuk atau pantai remang-remang Delodberawah di selatan kota kabupaten. Keesokan harinya, upah baru diserahkan setelah dipotong uang minuman dan ongkos wanita penghibur semalam suntuk. Teman saya ini lalu pulang membawakan sang ibu uang antara sepuluh ribu hingga lima belas ribu rupiah buat biaya hidup dengan adik-adiknya.

Tiga tahun teman saya ini hidup dengan cara yang penuh resiko itu. Tapi dia mengaku bahagia dan puas. Maka saya tak pernah berani coba-coba menasehatinya agar misalnya berhenti menjarah hutan atau berhenti ke kafe dan membeli kesenangan dari perempuan penghibur. Saya biarkan dia, pun setiap ketemu dia masih saja minta rokok pada saya.

Setahun lalu, adalah pertemuan terakhir saya dengan DR. Malam-malam, kami sedang berkumpul bakar-bakaran ikan tongkol di sebuah rumah teman lain dekat bale banjar. Tiba-tiba seseorang menjemputnya. “Ada penting dari boss,” ujar orang yang menjemputnya itu dengan nada penuh tekanan.

Keesokan harinya, saya dengar DR sudah meringkuk di penjara. Dia didakwa memiliki satu truk kayu jarahan yang sedang diangkut entah menuju ke mana. Dan DR di-”sewa” oleh seorang boss untuk mengakui kayu-kayu yang tertangkap polisi itu adalah miliknya. Konon teman saya itu dijanjikan gaji lima puluh ribu perhari jika mau menggantikan sang boss masuk penjara selama satu tahun. DR menerima tawaran itu dengan senang hati demi kehidupan sang ibu dan kelima adiknya.

Saya yang pertama kali mendengarnya, juga tak merasa apa-apa. Saya dan teman-teman yang lain malah bersyukur dan memuji tindakan DR yang rela mengorbankan diri demi keluarga. Dengan gaji lima puluh ribu perhari, saya berharap keluarga itu sedikit akan bisa menolong hidupnya.

Hari dan bulan-bulan berjalan. Saya dan teman-teman tak sempat lagi memikirkan DR yang meringkuk di penjara. Terlalu banyak yang harus kami ingat dan harus kami kerjakan untuk hidup kami sendiri. Sementara itu, peristiwa demi peristiwa juga terus mengepung hidup dengan begitu bertubi, menyerobot bahkan setiap celah tarikan nafas. Belum selesai satu peristiwa, yang lain telah menyusul. Dan di antaranya, penjarahan demi penjarahan isi hutan di kawasan Bali Barat itu terus pula terjadi secara ajaib dan penuh misteri. Bahwa jejak para penjarah itu jelas ada, tetapi sosoknya seolah tak tersentuh, seolah tak kasat mata.

Dan belum lama ini, saya tak sengaja melewati rumah DR. Hari sudah beranjak petang. Ketika melintas di halaman rumah gubuk yang belum diterangi cahaya lampu itu, saya melihat keadaannya sudah semakin kropos. Sepi. Dingin dan sekelam setiap yang bernama kesengsaraan.

Saya tak melihat sang ibu ada di sana. Saya hanya melihat salah seorang adiknya yang berumur empat tahun sedang duduk melamun sendiri di emper depan. Anak lelaki kurus tanpa baju itu seperti sedang menunggu. Entah menunggu sang ibu dan saudara-saudaranya yang sedang pergi ke mana, atau sedang menunggu apa. Saya memberinya senyum, tapi dia bergeming. Lama kami bertatapan, tapi kami tak menemukan sepatah kata pun yang pantas diucapkan. Saya merogoh saku, mengulurkan selembar uang. Tapi anak itu menggeleng bahkan mundur beberapa langkah menuju pintu rumahnya yang gelap. Dan entah kenapa, saya juga ikut mundur.
Saya segera beranjak pergi. Tetapi pikiran saya tak mau pergi dari halaman rumah itu. Sebuah pertanyaan terasa menggaruk-garuk tempurung kepala saya. Benarkah DR selama meninggalkan sang ibu di penjara telah menerima gaji yang dijanjikan sang boss kepadanya? Saya ragu, bahkan tak menemukan jawaban!
nanoq da kansas

2 komentar:

balidreamhome mengatakan...

butuh mata hati yang tajam untuk sekedar memahami dan menyadari bahwa ternyata dipulau Bali yang dikatakan sangat gemerlapan dan mempesona, banyak sekali yang tinggal disudut - sudut pulau ini tidak pernah membayangkan akan boleh memasuki mall2 dan pusat perbelanjaan asing yang tersebar merata diseluruh Bali, bahkan untuk sekedar minum air bersih sajapun mereka tidak pernah mampu...

Sebuah ironi yang sangat dahsyat Bro ..

situs poker mengatakan...

mantap gan artikel nya :)

Agen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola

Posting Komentar