Teringat Mbok Murni



maka engkau berangkat lebih dulu
tak apa, di depanku selangkah
bukanlah terlalu jauh



SENJA yang bergerimis itu tiba-tiba terasa kosong. Sebuah pesan pendek di handphone beberapa kali harus dibaca untuk meyakinkan bahwa: telah berpulang Gusti Ayu Kadek Murniasih.

Itu, 11 Januari 2006, hampir tiga tahun silam. Mbok Murni, demikian biasa teman-teman pelukis-pelukis muda Bali memanggil serta menyapanya.

Perempuan itu, walau saya dan dia begitu jarang bertemu, telah memahat sesuatu yang lain di hati saya. Dia pernah “mengomeli” saya tentang bagaimana caranya mencintai kehidupan. “Lakukanlah sesuatu dengan iklas, sekemampuanmu, tanpa harus memaksakan diri untuk menjadi yang lain. Jadilah dirimu sendiri,” ujarnya suatu senja di studionya, di Ubud-Gianyar.

Sebuah kalimat yang bagi orang kebanyakan sudah demikian klise sebenarnya. Tetapi ketika yang mengucapkannya adalah Murni, terlebih lagi kepada diri saya, kalimat itu terasa menjadi “baru” dan orisinal.

Ya, di tengah kesibukan anak-anak bangsa saat ini untuk menjadi “hebat”, Murni memberi saya contoh bahwa “kehebatan” bukan sesuatu yang harus diburu dengan ngotot. Murni sendiri menjadi hebat hanya karena keiklasannya bersikap. Keiklasan untuk biasa-biasa saja. Belajar terus sekaligus bekerja sebagaimana biasa, tidak gembar-gembor untuk mencari popularitas, tidak munafik, hormat kepada siapa saja yang datang atau ditemuinya. Ya, Murni hebat, setidaknya di mata saya, karena dia seorang perempuan yang menjaga dirinya untuk biasa-biasa saja.

Karena hidup Murni adalah “hanya sebagai pelukis”, dia pun dengan sadar untuk hanya bicara tentang apa yang dipahaminya. Ketika kami bertemu tahun 2000 yang lalu, di mana saat itu situasi sosial politik di Tanah Air sedang panas-panasnya, di mana saat itu setiap orang sekonyong-konyong “menjadi negarawan” menjadi reformis, Murni tetap hanya menjadi dirinya sendiri. Banyak sekali pelukis (seniman) saat itu yang ikut berebut tempat serta kesempatan berbicara soal bangsa dan negara, soal-soal politik, soal-soal kekuasaan, tetapi Murni tetap hanya bicara soal: “Bagaimana kabarmu?” atau “Ada karya baru lagi apa belum?”

Begitu sederhananya dia. Tidak ikut dia berangan-angan misalnya kesenian, seniman dan kebudayaan agar lebih diakui dan dilindungi oleh negara dengan misalnya membuat kementerian khusus, tidak ikut dia berpropaganda bahwa bangsa dan negara ini akan lebih baik jika kesenian dan kebudayaan lebih diperlakukan dengan adil atau lebih dihormati. Murni tidak pernah latah. Tidak pernah makesiab dengan apapun yang terjadi. Dalam kesehariannya, Murni begitu biasa.

Mungkin karena dia hanya seorang perempuan Bali yang tidak berpendidikan tinggi. Tidak tamat SMP, sehingga bagian kiri dan bagian kanan otaknya mampu bersinergi secara seimbang tanpa ada semacam kompetisi untuk saling menonjol. Artinya, dalam “keterbatasan” intelektualitasnya, Murni justru mampu memurnikan dirinya sebagai yang sebagaimana mestinya.

Tapi, (meminjam istilah abang saya), jangan-jangan Murni juga adalah “perempuan salah”. Maksudnya, di tengah-tengah kebangkitan para perempuan untuk merebut posisi yang sama dengan laki-laki, Murni justru kukuh bertahan pada keperempuanannya. Di tengah-tengah kesibukan perempuan Bali menjadikan dirinya semakin Bali dengan segala kenyinyiran budaya yang tiba-tiba mengkristal, Murni justru berada pada posisi “antara”. Sebagaimana yang selalu tak dikatakannya, tetapi dilakukannya, bahwa posisi tidak perlu direbut. Posisi itu lebih sebagai karunia alam dan ilahi bagi siapa yang pantas tanpa menghitung jenis kelamin dan asal-usul.

Menyingung soal asal-usul, jika dikaitkan dengan kesenimanannya, Murni pun berasal dari “tempat yang salah” pula. Lahir dari keluarga miskin di Medewi – Jembrana, Murni kecil diajak orang tuanya bertransmigrasi ke Sulawesi dan otomatis putus sekolah. Tidak kerasan di daerah pemukiman transmigran, Murni ke kota Ujungpandang dan menjadi pembantu di sebuah keluarga Tionghoa. Sambil menjadi pembantu, dia sempat disekolahkan oleh majikannya. Tetapi hanya sampai kelas II SMP dia tidak kuat karena kelelahan. Lalu ikut diajak pindah ke Jakarta. Dari Jakarta kemudian dia minta pulang dan “nyasar” di Celuk Sukawati, Gianyar. Bekerja di perusahaan perhiasan perak selama dua tahun dan mulai “memberontak” dengan membuat disain-disain sesuai kreasinya sendiri.

Bosan di Celuk, Murni pindah dan menetap di Ubud. Belajar melukis sebagaimana kebanyakan pelukis setempat dengan gaya Pengosekan-nya. Tetapi ketika menyadari bahwa sudah ada ribuan lukisan dengan gaya yang sama berserakan di sekelilingnya, Murni mencari bentuk yang lain untuk dirinya. Dan dia menemukannya dalam kesederhanaan yang begitu kanak-kanak. Sebuah kenaifan yang justru telah lama dilupakan orang. Dan di situlah Murni menempatkan diri sekaligus ditempatkan oleh alam dan kemauan ilahi.


Dan kini dia sudah pergi. Masih begitu muda. Dan syukurnya, masih dalam kesederhanaan yang kukuh menggenggamnya. Dan saya tak tahu, di manakah dia mendapat tempat “di sana”? Tetapi saya tentu tak perlu memikirkan hal ini terlalu jelimet. Seperti yang selalu (tak) pernah dikatakan Murni kepada saya, bahwa: posisi atau tempat tidak perlu direbut. Tempat itu lebih sebagai karunia alam dan ilahi bagi siapa yang pantas. Selamat jalan, Mbok Murni!


nanoq da kansas
sketsa: made suta kesuma

3 komentar:

Fajar Indra mengatakan...

luar biasa... perempuan bertahan dengan feminisme nya... hmmmm.. jarang ditemui akhir-akhir ini ya...

tyasjetra mengatakan...

mas nanoq...
aku suka dengan kata2 "bertahan pada keperempuanannya"...
dan "kehebatan bukan suatu hal yg harus diburu"..

walau cuma tau dari cerita mas nanoq, aku salut sama mendiang mbok Murni..

semoga beliau tenang dan senang di alam sana..

situs poker mengatakan...

mantap gan artikel nya :)

Agen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola

Posting Komentar