Buruh di Laci Politik

KESADARAN bahwa buruh adalah sebuah profesi, secara umum di Indonesia baru terjadi dekade terakhir ini. Apalagi di daerah, di wilayah pinggir dimana warga masyarakat menjalankan kehidupan ekonomi serta sosialnya secara tradisional (baca: petani), buruh hanyalah di anggap pekerjaan sambilan yang tidak pernah diharapkan akan menjadi pekerjaan utama. Artinya, dalam kondisi seperti itu, buruh tidak pernah dianggap sebagai sebuah upaya serius seorang atau sekelompok anak manusia untuk menghidupi diri dan keluarganya setara dengan upaya-puaya lain semisal menjadi pegawai perusahaan, PNS, guru, dan sebagainya.

Dengan kondisi ini pula, buruh pun memang tak pernah benar-benar dihargai, baik secara ekonomi, status sosial bahkan secara etika. Dulu, tidak aneh jika seorang buruh hanya diberi upah berupa sepiring nasi, atau sekaleng beras, atau sepasang pakaian bekas. Dari sisi status sosial, dulu buruh pun adalah warga kelas empat – di bawah petani. Dan secara etika, buruh selalu diperlakukan sekedarnya oleh lingkungan, bahkan kehadiran maupun suaranya tak pernah diperhitungkan untuk bisa turut membangun sebuah kebijakan bersama untuk kepentingan bersama dalam sebuah komunitas.

Maka dulu (bahkan sekarang masih terjadi di beberapa tempat), seorang buruh yang ditanya soal pekerjaannya, buruh itu akan mengatakan dirinya tidak bekerja. Ini sama dengan seorang petani yang ditanya soal pekerjaan dia selalu mengatakan bahwa dirinya tidak bekerja. Pekerjaan hanya dianggap layak untuk diakui sebagai “pekerjaan” apabila pekerjaan itu adalah karyawan kantor, pegawai negeri, guru, dokter, bidan, polisi, tentara dan seterusnya. Jadi begitulah kondisi buruh. Dia ada dan nyata-nyata sebagai upaya ekonomi, tetapi secara ekonomi dia justru tak dihargai.

Ketika dunia pelan-pelan menjadi kecil dengan arus informasi yang begitu cepat dan merata, orang-orang tradisional di Indonesia perlahan-lahan mulai melek pemahamannya. Ternyata di luar negeri buruh dalam konteks profesi itu adalah sebuah profesi yang juga terhormat seperti profesi-profesi lainnya. Di luar negeri terutama tentu saja di negara maju, buruh ternyata punya wadah sendiri yang berfungsi sebagai pemberi perlindungan secara hukum, buruh punya undang-undang, bahkan buruh bisa punya partai sendiri.

Penambahan wawasan inilah yang baru kemudian menyadarkan kaum buruh di tanah air bahwa ternyata dirinya sebenarnya juga punya perangkat sebagaimana kaum buruh di luar negeri. Bahwa sebenarnya, kaum buruh di Indonesia pun punya peluang yang sama dengan buruh di negara-negara maju untuk diperlakukan sebagaimana mestinya sebagai sesama warga masyarakat dan warga negara, baik di sisi ekonomi, status sosial maupun etika.

SAYANGNYA, bangsa ini adalah sebuah bangsa yang sudah kadung terjerembab dalam penjajahan. Dulu dijajah bangsa asing, lalu selama 32 tahun dijajah rezim yang memberhalakan sistem keamanan mutlak sekaligus memuja sistem konglomerasi. Maka ketika kesadaran itu tumbuh, yang terjadi adalah eforia dan histeria massal. Baik buruh sebagai subyek maupun negara sebagai pemilik sistem, sama-sama “hanya bergembira”. Kaum buruh (melalui perwakilannya) dengan terlalu gembira menghargakan dirinya sehingga banyak aspek dan kemungkinan jangka panjang yang terlupakan. Negara (pemerintah) dengan terlalu gembira memperbaiki sistem yang pernah ada serta membuat peraturan baru, yang ironisnya kedua-duanya belum bersih dari “kebiasaan buruk” bernama: seolah-olah melindungi rakyat.

Maka begitulah kemudian yang terjadi. Sesaat setelah eforia dan histeria kesadaran baru kaum buruh atas eksistensi dirinya, sesaat setelah eforia dan histeria kesadaran baru negara atas sistem miliknya, benturan justru terjadi, dan makin sering terjadi.

Ada pertanyaan sederhana yang tak pernah tuntas terjawab: sejauhmana standar upah minimum kabupaten (UMK), upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum regional (UMR) yang notabene adalah ciptaan pemerintah untuk menolong serta menyelamatkan rakyatnya (buruh) mampu benar-benar menolong? Mungkin memang tidak ada jawaban pasti. Kita hanya bisa melihat kenyataan yang terus-menarus terjadi bahwa negara dan kaum buruh memang dua kutub yang tak pernah bisa bertemu. Buruh adalah “sebuah masalah”, sementara negara adalah “sekumpulan masalah” yang terlalu kompleks. Maka dengan mudah dan tanpa perasaan bersalah negara bisa saja berdalih bahwa dirinya tak mungkin hanya memuaskan satu pihak saja dalam hal ini kaum buruh, tetapi juga harus memberi toleransi kepada yang lain.

Maka tidaklah mengherankan bila ada kenyataan upah buruh para pelayan toko, pelayan restoran, pegawai koperasi, penunggu pom bensin, buruh pabrik dan seterusnya, jauh di bawah UMK, UMP dan UMR. Ini terjadi karena negara harus bertoleransi kepada para pemilik modalnya agar mereka juga tetap bisa berusaha sehingga tetap bisa bayar pajak, bayar retribusi serta bayar sumbangan tertentu bila diperlukan. Maka mana pernah para buruh toko diajak oleh negara dan pemilik modal ketika mereka membahas UMK dan UMR misalnya.

Jadi begitulah, jika bicara dari perspektif buruh, bangsa ini memang bangsa yang sudah kadung terjerembab ke dalam penjajah. Setelah penjajahan bangsa lain, setelah penjajahan negara, sekarang dijajah kapitalisasi global yang didukung penuh oleh sistem politik pula. Maka buruh, kendati sudah melek wawasan, buruh adalah tetap warga kelas empat. Bahkan parahnya, warga kelas empat ini suatu waktu bisa dirubah menjadi komoditi yang diperjual-belikan secara politik! Kasihan memang!

1 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel di Blog ini bagus dan berguna bagi para pembaca.Anda bisa lebih mempromosikan artikel anda di Infogue.com dan jadikan artikel anda topik yang terbaik bagi para pembaca di seluruh Indonesia.Telah tersedia plugin/widget.Kirim artikel dan vote yang terintegrasi dengan instalasi mudah dan singkat.Salam Blogger!!!

http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/buruh_di_laci_politik

Posting Komentar